Pengaruh budaya modern dan kecanggihan teknologi yang terus mengalami perkembangan akhir-akhir ini, ternyata sangat berpengaruh signifikan terhadap minat remaja di Papua dalam melirik dunia seni asli daerah.
Menurut sejumlah penelitian, remaja lebih tertarik menghabiskan waktunya dengan gadget (barang elektronik) seperti, ponsel pintar, tablet, laptop serta lainnya yang terlihat lebih menarik karena dapat berinteraksi dengan siapapun dan dibelahan dunia mana pun.
Adalah media sosial seperti Facebook, Twitter, Instragram dan saluran video Youtube yang kerpa menjadi sasaran para anak muda dalam mencari hiburan, meski tak sedikit dari itu menggunakan gadget untuk urusan belajar dan keperluan kerja.
Pengaruh budaya modern inilah yang pada akhirnya membuat bisnis sanggar seni menjadi lesu. Sementara jika dilihat dari sisi budaya dan adat istiadat yang mesti dipelihara, keberadaan sanggar tari mulai tinggalkan para remaja karena tak melihat ada keuntungan signifikan yang bisa dihasilkan.
“Para remaja kini lebih tertarik main internet dengan HP padahal jika mereka masuk sanggar kami menggaji mereka yang dilihat dari tingkat senioritas dan penampilan. Memang tidak besar namun ada penghargaan yang kami berikan berkisar Rp700 - Rp1,5 juta per bulan,†kata Theo Yepese, Pimpinan Grup Tari Honong, kepada media ini di Jayapura Jumat (4/3).
Meski begitu, dirinya sangat bersyukur karena sampai ini masih ada sekitar 30 remaja yang terdaftar aktif berlatih di sanggarnya.
“Walau belum pernah ada bantuan dari pemda, namun kami tetap eksis dan mereka rata-rata berumur 18-21 sebab sedang berkuliah. Namun saya tetap berharap lebih banyak lagi anak muda di Papua yang ingin dan mau belajar seni budaya lebih khusus tari Papua supaya apa, agar budaya daerah bisa lebih dilestarikan,†tutur dia.
Theo mengaku sekali tampil sanggarnya bakal menerima bayaran paling sedikit Rp5 juta. “Hanya saat ini harga itu sudah dianggap sudah mahal. Bagaimana kami mau makmur, apakah kami hanya bisa jual pinang saja?,†tuturnya
Ditanya wartawan hal penting apa yang dapat dilakukan untuk menyikapi kurangnya minat anak muda Papua masuk ke sanggar seni tari, dengan lugas Theo menjawab jika tahu solusinya pasti dirinya lekas kaya.
“Kalau saya tau jawabannya saya pasti kayak,†tuturnya terbahak-bahak.
Oleh karenanya pada kesempatan itu, ia menghimbau pemerintah daerah ikut mencarikan jalan keluar untuk kembali memotivasi pemuda dan pemudi di Papua agar berkeinginan mempelajari seni budaya asli daerah.
“Kalau bisa pemerintah juga manfaatkan kami lah, jangan ketika ada acara besar justru mengundang grup seni dari luar daerah. Sehingg ada kesan pemerintah kurang memperhatikan sanggar seni yang ada di Papua karena lebih banyak pakai grup seni dari luar ketimbang di daerah.
Semoga ada keberpihakan supaya seni budaya asli Papua bisa lebih dilestarikan,†pungkasnya.