Pemerintah Pusat baru-baru
ini menerbitkan aturan baru terkait pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan
mineral dan batubara (minerba) yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
1 Tahun 2017.
PP ini mengubah aturan ekspor konsentrat,
sementara kontrak karya PT. Freeport Indonesia kini mesti diganti menjadi IUPK
(Izin Usaha Pertambangan Khusus) dan menjadi kewenangan penuh pemerintah pusat.
Meski demikian, pusat diminta melibatkan
pemerintah dan masyarakat Papua dalam pembahasan IUPK tersebut. “Memang IUPK
kewenangan pusat tapi ini menyangkut perpanjangan masa produksi Freeport yang
kalau menurut PP1 sudah bisa dibahas tahun ini.â€
“Sehingga kita berulang kali mengharapkan agar
Papua bisa dilibatkan dalam pembahasannya. Sebab sampai sekarang kami belum
dilibatkan baik untuk pembahasan masalah divestasi saham atau smelter. Intinya,
kami merasa perlu memberi masukan, lebih khusus
untuk kepentingan masyarakat yang ada disekitar areal pertambangan,â€
terang Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Papua, Bangun
Manurung di Jayapura, Selasa (17/1).
Menurut dia, belum diperpanjangnya izin ekspor
konsentrat belum akan berpengaruh pada operasional PT. Freeport. Dimana
perusahaan tersebut, masih dapat berproduksi secara normal, sementara hasil
tambangnya dapat ditimbun dan disimpan di Amamapare, Mimika.
Dampak negatif baru akan muncul bila pada
jangka panjang, sehingga kemungkinan besar perusahaan akan mengurangi volume
produksi, sambil memastikan kapan dilakukan perpanjangan ekspor.
“Sebab kalau sudah menyangkut pengurangan produksi
disitulah mulai ada dampak. Misalnya nanti volume pekerjaan menurun dan jika
sampai jangka panjang akan berefek ke pengurangan tenaga kerja.â€
“Lalu begitu tidak ada ekspor, berarti yang
mereka bayar pajak yang hanya diolah di smelter. Ini juga berarti nilai
penghasilan negara berkurang dan ini dampaknya Dana Bagi Hasil (DBH) bagi Papua,
kecil,†katanya.