Tak diperpanjangnya izin
konsentrat PT. Freeport Indonesia (PTFI) oleh Pemerintah Pusat, dikhawatirkan
berdampak pada rasionalisasi yang berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
karyawan.
Meski begitu, pemberlakuan PHK oleh PTFI mesti
memiliki alasan yang jelas dan mengacu pada UU 13 2002 tentang Ketenagakerjaan
maupun UU 2 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
“Ini berarti PTFI tidak serta merta dapat
melakukan PHK. Karena PHK harus ada alasan yang jelas. Apakah dikarenakan
perusahaan rugi atau lainnya, artinya semua tindakan harus ada alasan yang
jelas dan tepat,” terang Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Provinsi
Papua, Yan Piet Rawar di Jayapura, Senin (20/2).
Menurut Yan, sampai saat ini pihaknya belum
menerima laporan mengenai rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan
kepada Pemerintah Provinsi Papua. Dilain pihak, dalam pertemuan antara Pemprov
Papua dengan manajemen Freeport, disepakati mereka sudah berjanji untuk
melaporkan kabar rencana pemutusan hubungan kerja kepada pemerintah daerah.
"Sehingga jika belum ada laporan maka
prediksi kami belum dilakukan PHK oleh pihak Freeport. Sebab Pemerintah
Provinsi Papua belum mendapat laporan secara resmi dari manajemen Freeport,”
tutur dia.
Dia menambahkan mesti Freeport sudah
melaporkan rencana PHK, maka Pemerintah Provinsi Papua akan segera mengkaji
kembali laporan tersebut.
“Karena kita tidak ingin terima begitu saja, tetapi
kaji dulu laporannya apakah alasan melakukan PHK sudah tepat atau sebaliknya,”
tutur dia.
Sebelumnya, ratusan karyawan PT. Freeport
menggelar aksi demonstrasi di Mimika, menuntut pemerintah segera menerbitkan izin
ekspor konsentrat tembaga, emas dan perak ke luar negeri.
Diketahui, izin ekspor konsentrat PT Freeport
telah dihentikan oleh pemerintah sejak 12 Januari 2017. Akibat dari kebijakan
itu, sejak 10 Februari 2017, PT Freeport menghentikan sementara proses
produksinya. Sampai saat ini Freeport memiliki 23.200 karyawan.