Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan
pemerintah provinsi, diimbau untuk menghindari pembuatan Surat Perintah
Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif, yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan diri
sendiri namun berpotensi menjadi temuan yang merugikan negara.
Hal demikian katakan Asisten Bidang
Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Papua Elia Loupatty saat memberikan
arahan pada Apel Pagi, di Halaman Kantor
Gubernur Dok II Jayapura, Senin (29/5).
“Saya minta Kepala Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) dan Staf harus sepakat menghindari SPPD fiktif. Karena tak
mungkin seorang Kepala SKPD menandatangani sebuah SPPD tanpa mengecek
bukti-bukti yang ada, seperti boarding pass dan lainnya,” tutur dia.
Loupatty mengisahkan dirinya pernah menolak
uang perjalanan dinas dari SPPD dobel yang diberikan seorang pegawai. Sebab ia
menyadari bahwa hal itu bisa menimbulkan masalah dimasa mendatang.
“Kemarin waktu melakukan perjalanan dinas ke Batam,
seorang Staf memintanya untuk
menandatangani kwitansi sekaligus
memberi sejumlah uang. Saya menolak menandatangani kwitansi dan mengembalikan
uang itu”.
“Dia mengatakan itu uang perjalanan dinas,
padahal saya sudah menerima dari sekretariat. Pada akhirnya saya tolak karena SPPD
dobel dan bisa menimbulkan masalah,” tutur dia.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
menyoroti maraknya perjalanan dinas fiktif yang masih menjadi temuan di
Provinsi Papua. Meski tak menyebutkan nilainya, Auditor Utama Keuangan Negara
VI BPK RI, H. Sjafrudin Mosi menilai hal tersebut tak boleh dibiarkan
berlarut-larut.
“Tak hanya perjalanan dinas yang fiktif atau
melebih-lebihkan jumlah hari. Tapi juga ada yang menambah-nambahi nilai biaya
hotel,” terang Mosi di Jayapura, baru-baru ini.
Ia mempertanyakan kinerja inspektorat di Bumi
Cenderawasih yang tak maksimal memastikan seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) untuk mengikuti semua peraturan yang berlaku. Sebab jika tak becus
bekerja, ia pun mengusulkan agar Inspektur atau pimpinan Inspektorat tersebut
dicopot.
“Sebab kalau masih ada perjalanan fiktif ini
berarti inspektoratnya tidak bekerja. Sebab gunanya inspektorat itu memastikan
bahwa semua peraturan diikuti”.
“Kalau masih ada inspektorat lalu yang
membiarkan hal seperti ini bubarkan saja inspektoratnya atau berhentikan saja
pejabatnya. Tidak bisa seperti itu,” tegasnya.
Ia pun mengkritisi keputusan para Inspektur di
yang sudah mereview hasil laporan keuangan SKPD, namun setelah disampaikan ke
BPK masih didapati temuan.
“Harusnya laporan keuangan SKPD jika sudah
diserahkan kepada BPK tak mesti ada lagi temuan. Artinya, Inspektur atau
pimpinan inspektorat jangan hanya sebagai tukang pos lalu, main stempel sudah
sesuai laporan keuangannya”.
“Seharusnya pada saat inspektorat mereview semua
permasalahan itu sudah diperbaiki. Lalu disampaikan kepada BPK sudah tak ada
temuan lagi. Sebab disitu tanggung jawabnya inspektorat. Tapi yang terjadi
tidak demikian ini saya harap jadi evaluasi bagi semua pihak di instansi
tersebut,” ajaknya.