Pengamanan potensi gambut dari ancaman kebakaran
hendaknya dilakukan secara kolaboratif (bersama) dengan melibatkan masyarakat
adat melalui program pemberdayaan. Diantaranya, pembentukan pemberdayaan
kampung peduli gambut yang dapat menekan laju kerusakan dan mencegah emisi
karbon lahan gambut.
Hal demikian disampaikan Asisten Bidang
Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Papua, Elia Loupatty di Jayapura
saat membuka Sosialisasi Program Restorasi Gambut, Selasa (11/7) di Jayapura.
Menurut dia, potensi ancaman kerusakan
ekosistem gambut di Papua sangat tinggi, dimana ancaman terbesar datang dari
perusahaan-perusahaan yang mendapatkan izin eksploitasi dan izin perusahaan,
baik pengusahaan hutan alam, maupun pertambangan, pertanian dan perkebunan
berada diatas gambut.
Oleh karenanya, ia melihat restorasi gambut
Papua perlu dilaksanakan atas dasar antisipasi dampak sosial , ekonomi, dan
lingkungan yang tidak diinginkan masyarakat.
Dilain pihak, dirinya berpendapat untuk
perlindungan dan restorasi lahan gambut yang rusak di Papua harus dengan
menanam jenis pangan endemik seperti sagu, karena tanaman ini mampu menyerap
air 200-1.000 persen. Sehingga dapat berfungsi sebagai tanaman pelindung lahan
gambut agar tidak mengering dan terbakar.
"Makanya, saya harap kehadiran Badan
Restorasi Gambut (BRG) di Papua dapat melakukan sosialisasi potensi gambut dan
memetakan masalah dan solusi melalui program pemberdayaan kampung peduli
gambut," ucap dia.
Dia menambahkan, Papua memiliki luas gambut
mencapai 2.658.18 hektar. Dengan sebaran di Kabupaten Merauke, Mappi, Asmat,
Boven Digoel, Mamberamo Raya, Mimika dan Tolikara. Oleh karenanya, diperlukan
satu kesepahaman untuk melakukan restorasi bersama semua pihak di tanah ini.
Sementara itu, Kepala Badan Restorasi Gambut, Nazir
Foead mengatakan sesuai dengan PP No.1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi
Gambut, maka pihaknya datang untuk bertemu para pemangku kepentingan, guna mengkoordinasikan
dan memfasilitasi upaya pelaksanaan restorasi tersebut.