Badan Restorasi Gambut (BRG) bakal mendorong
masyarakat di Bumi Cenderawasih untuk menanam pohon sagu di kawasan lahan
gambut. Dimana sesuai arahan ahli Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
disebutkan bahwa komoditas ini memiliki produktivitas yang baik dan
berkali-kali lipat dibanding singkong.
"Kalau tanaman sagu ini dipanen delapan
tahun sekali, sementara singkong mungkin enam bulan sekali”.
“Sehingga bila dihitung dengan budaya yang
tepat, maka jumlahnya akan sangat besar (per hektar). Untuk itu, bila
produktivitasnya dibagi per tahun maka nilai tambahnya masih lebih
tinggi," tutur Kepala Badan Restorasi Gambut, Nazir Foead di Jayapura,
Rabu (12/7) kemarin.
Selain dijadikan lahan pertanian, lanjut dia,
lahan gambut di Papua yang masih murni dapat pula dijadikan sebagai lokasi
objek wisata. Sebab kondisi gambut yang masih baik di Papua saat ini, mencapai
90 persen lebih.
"Sehingga tak ragu-ragu lagi bahwa hal
ini bisa menjadi potensi yang bagus bagi Papua di masa mendatang. Sebab apabila
dikelola dengan baik, saya yakin nilai tambah dari keberadaan lahan gambut akan
menjadi prospek yang cerah bagi provinsi ini,” tutur dia.
Dia mengatakan, secara umum Indonesia menilai
lahan gambut dengan nilai ekonomi tinggi jika dimanfaatkan secara tepat. Dimana
luas lahan gambut mencapai 2.658.184 hektar, sebab beberapa daerah di
Indonesia, Jepang, Jerman, Irlandia maupun inggris bertani dilahan gambut.
"Oleh karena itu, hal ini telah kita
mulai terapkan di Indonesia. Dimana beberapa tempat sudah mulai mengembangkan
ikan air tawar, baik di Kalimantan dan Sumatera dengan beternak Kerbau rawa".
“Dilain pihak, beberapa jenis pertanian yang
bisa tumbuh dilahan gambut, misalnya nanas, kopi gambut, kelapa dalam dan sagu bisa
tumbuh subur di atas lahan gambut. Karena itu, ini yang kita ingin galakkan di
Papua supaya bisa memberikan nilai tambah, sehingga keberadaan lahan gambut
bisa memberikan efek positif bagi masyarakat,” terang dia.
Pada kesempatan itu ia menambahkan untuk
proses restorasi (pemulihan) lahan gambut di Papua, dilakukan dengan
menggunakan pohon sagu yang identik dengan budaya lokal dan merupakan jenis
tanaman basah.
Ia berharap keleliruan restorasi di Sumatra dan
Kalimantan yang mengambil tanaman dari lahan kering untuk ditanami pada wilayah
gambut yang justru mengundang kebakaran, tak terulang di masa mendatang.