Pemerintah Provinsi Papua mengimbau agar
penggunaan bahasa asing oleh masyarakat, dilakukan pada tempat selayaknya dan
tak mendahului bahasa kebangsaan kita.
“Reformasi boleh bergulir, tapi bahasa
Indonesia sebagai identitas bangsa harus tetap kita jaga. Pengutamaan
penggunaan bahasa Indonesia, terutama di ruang publik harus kita tampakkan”.
“Kita juga harus sesering mungkin
memperlihatkan kehadiran negara melalui bahasa kebangsaan kita, yaitu bahasa
Indonesia,” terang Staf Ahli Gubernur Papua Bidang Pemerintahan, Hukum dan
Politik, Simeon Itlay, pada gerakan deklarasi pengutamaan penggunaan bahasa
negara, Rabu (19/7), di Jayapura.
Simeon menilai deklarasi pengutamaan
penggunaan bahasa Indonesia yang dilakukan pada hari ini sangatlah tepat,
mengingat akhir-akhir ini penggunaannya sudah tidak lagi menjadi yang utama. Dimana,
seolah-olah Bahasa Indonesia telah mulai terpinggirkan, padahal sejak
diikrarkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, ada kewajiban untuk
menggunakannya sebagai bahasa negara. Sebab telah diamanatkan dalam UUD 1945
serta UU No. 24 2009.
Karena itu, amanah ini wajib untuk dijalankan
supaya peran bahasa Indonesia, tampak dalam kehidupan masyarakatnya. “Sebab
kalau kita tidak mulai dari sekarang, kapan lagi. Intinya jika sekarang kita
tidak bergerak dan mulai mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia, maka lambat
laun, bahasa kita akan hilang dibalik bayang-bayang bahasa asing”.
“Makanya, mari kita bulatkan tekad untuk tetap
merawat dan menjaga bahas Indonesia sebagai identitas bangsa yang mesti dan
harus benar-benar hadir di tengah-tengah warganya,”harap dia.
Pada kesempatan itu, Staf Ahli Simeon Itlay
menuturkan bahwa Presiden Soekarno sangat peduli dan menjaga penggunaan bahasa
Indonesia sebagai identitas maupun simbol negara. Hal itu dapat kita lihat
melalui empat nama bangunan monumental yang ada di Jakarta.
Hal demikian juga untuk menunjukan pada dunia
bahwa Indonesia sangat menghargai perlawanan dan perjuangan rakyatnya dalam
merebut kemerdekaan. Dimana telah dibangun monumen peringatan setinggi 132 meter
(433 kaki) pada Agusts 1961. Momumen ini kemudian menjadi simbol Indonesia, yang
diberi naman Monas (Monumen Nasional).
Hanya saja sejak reformasi bergulir pada 1998,
penamaan dengan menggunakan bahasa asing (Inggris) semakin marak kembali
sehingga bahasa negara kita mulai tak nampak. “Kita jadi lebih bangga
menggunakan bahasa asing yang seharusnya dapat kita sampaikan dalam bahasa
Indonesia”.
“Intinya kita tidak melarang namun kita perlu belajar
menambah wawasan berbahasa asing supaya tidak tertinggal. Hanya sekali lagi
digunakan sesuai porsinya supaya penggunaan bahasa Indonesia tak semakin
terkikis,” pungkasnya.