Pemerintah Provinsi Papua mengharapkan
tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak, harus benar-benar diakhiri.
Hal demikian disampaikan Gubernur Papua Lukas
Enembe dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Papua, Anike Rawar pada temu
koordinasi partisipasi publik untuk kesejahteraan perempuan dan anak dengan
lembaga mayarakat, dunia usaha dan media, di Jayapura, Jumat (11/8) kemarin.
Tak hanya itu, Pemprov berkeinginan agar
segala bentuk perdagangan manusia (perempuan dan anak) dapat segera diakhiri.
“Termasuk masalah yang tak kalah penting, yaitu mengakhiri kesenjangan ekonomi
bagi perempuan”.
“Sebab beberapa poin ini juga sebenarnya
menjadi program unggulan dari kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak untuk segera diakhiri. Karena itu, agar supaya ha ini bisa
diakhiri, butuh kepedulian semua pihak, tak terkecuali pemerintah pusat,
provinsi dan kabupaten/kota,” terangnya.
Menurut dia, keberhasilan menekan angka
kekerasan terhadap perempuan dan anak, juga mutlak membutuhkan dukungan dan
komitmen seluruh elemen masyarakat.
“Makanya selain keterlibtan dan peran serta
pemerintah, tentunya kita harus mengajak seluruh elemen masyarakat. Hal ini
sangat penting supaya program yang dijalankan itu bisa berjalan maksimal,”
ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Komnas Perempuan Azriana
menyebut kekerasan fisik dan seksual paling banyak dialami perempuan Papua.
Dimana dari hasil penelusurannya, sekitar 281 kekerasan telah dialami perempuan
Papua sepanjang 1963-2009. Dilain pihak, kekerasan yang dialami perempuan Papua
tidak tunggal.
“Kekerasan fisik, seksual serta diskriminasi
menjadi cerita keseharian. Dimana kami melihat bagaimana mereka menjadi korban
seksual yang dlakukan aparat keamanan, mereka berhadapan dengan kekerasan
berikutnya”.
“Karena apa yang dialami tidak bisa diterima
oleh suami dan keluarga besarnya,” terang dia pada dialog publik refleksi 7
tahun laporan stop sudah bersama Komnas perempuan bersama Pemprov Papua, DPRP,
MRP, dan Jaringan masyarakat sipil pembela HAM perempuan di Sasana Karya Kantor
Gubernur Papua, Selasa (13/6) kemarin.
Oleh karena itu, pihaknya berharap kepada
Pemerintah Provinsi Papua agar mampu melihat masalah itu sebagai sebuah jalan
terbuka, untuk memberikan kesejahteraan bagi perempuan Papua.
Dilain pihak, turut membantu Pemerintah Pusat memahami
afirmasi yang diatur dalam Undang-Uundang Otsus, sebagai hak dari orang asli
Papua.