Kehadiran Presiden Megawati Soekarnoputri pada pelantikan presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono dapat menunjukkan kematangannya dalam komunikasi politik, meski secara formal tidak ada keharusan untuk hadir, kata Ketua Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Sasa Djuarsa Phd.
"Secara formal memang tidak ada aturan bagi Megawati untuk hadir, namun sebagai pejabat negara perlu juga untuk memberikan contoh ke depan yang baik, terutama dalam komunikasi kepada publik," kata Sasa, dosen pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) di Jakarta, Senin.
Ia mengemukakan hal itu berkaitan dengan keinginan presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hendak berkomunikasi dengan Presiden Megawati.
Menurut dia, persoalannya bukan lagi sekedar antara pribadi Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati, tetapi sudah pada kapasitas sebagai pejabat publik yang perlu memberi contoh kepada rakyat.
Dalam pandangan doktor komunikasi lulusan universitas AS itu, kahadiran Megawati semakin mempertegas proses demokrasi di Indonesia, yang juga sudah dijalankan dengan cukup baik oleh pemerintahan Megawati.
"Dengan kehadirannya, maka akan memperbaiki citra Megawati dan juga bagi PDIP sendiri," katanya.
Ia juga menyayangkan sikap sejumlah pejabat publik di Indonesia yang cenderung tidak bisa membedakan posisinya dengan persoalan pribadi.
Dalam pandangan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) itu, rencana ketidakhadiran Megawati, nampaknya lebih kepada persoalan karakteristik kepemimpinannya yang cenderung "beku" dalam berkomunikasi.
Ketegangan keduanya terjadi ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai Menko Polkam dan dirinya merasa kesulitan untuk bertemu dengan presidennya sendiri, menyusul pencalonan SBY sebagai capres yang diusung Partai Demokrat.
Sejak itu, muncul berbagai komentar dan sikap menghindar pihak Istana jika menghadapi pertanyaan seputar pengasingan Menko Polkam. Kontroversi baru berakhir setelah diangkatnya Mendagri Hari Sabarno sebagai Menko Polkam ad interim.
Saran
ISKI juga menyarankan kepada presiden terpilih agar membentuk tim komunikasi kepresidenan, sama seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Tujuannya, untuk menciptakan transparansi dalam memberikan penjelasan kepada publik.
"Penunjukkan juru bicara kepresidenan dapat membuat tugas-tugas komunikasi presiden menjadi lebih efektif dan efisien. Karena tidak mesti presiden terus yang memberikan penjelasan atas setiap permasalahan yang muncul," katanya.
Menurut dia, keberadaan juru bicara presiden merupakan posisi yang strategis. Tim komunikasi inilah yang merancang dan menjadi tempat konsultasi presiden, sebelum kepala negara memberikan pernyataannya.
Selain itu, presiden dan kabinet perlu lebih banyak mendengarkan suara rakyat bawah dan minoritas serta komponen masyarakat lainnya, khususnya bersikap transparan dalam memberikan penjelasan mengenai kebijakan-kebijakannya tersebut.