Ketua DPR HR Agung Laksono menegaskan bahwa DPR mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera membentuk peraturan pemerintah (PP) sebagai tindak lanjut guna melengkapi Undang-undang tentang pemilihan kepala daerah (pilkada).
"Kalau peraturan pemilihan kepala daerah tidak dilengkapi peraturan pemerintah atau semacam itu, dikhawatirkan bisa menimbulkan dispute di lapangan, bahkan menimbulkan korban jiwa dan material," kata Agung Laksono di Jakarta, kemarin.
Namun demikian, lanjut dia, DPR mengingatkan agar peraturan tersebut dirumuskan secara obyektif, tanpa mengedepankan kepentingan tertentu. Oleh karena itu, papar dia, peraturan tersebut haruslah mencerminkan prinsip-prinsip yang demokratis, transparan dan tetap menjaga persatuan daerah. "Selain itu, aturan ini juga tidak hanya memberi ruang atau peluang kepada kelompok tertentu, termasuk tidak boleh dicampuri oleh pihak manapun," ujarnya.
Desakan serupa juga disampaikan Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto. Menurut dia, pemerintah harus segera menerbitkan PP yang berisikan penjelasan dan pedoman pelaksanaan pilkada secara langsung, sejalan dengan perintah UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menyebutkan tahapan pendaftaran pemilih harus dimulai enam bulan sebelum pemilihan kepala daerah.
"Pemilihan kepala daerah secara langsung pertama kali akan berlangsung pada Juni 2005. Dengan asumsi ini, berarti paling telat Desember 2004 harus sudah terbit peraturan pemerintahnya. Tapi, sekarang belum ada tanda-tanda PP ini akan diterbitkan," kata Didik di Jakarta, Senin (29/11).
Sementara itu, Center for Electoral Reform (Cetro) menilai pentingnya melakukan revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebelum penyelenggaraan pilkada.
Menurut Hadar N Gumay, penyelenggaraan pilkada yang bergantung pada PP yang dikeluarkan Departemen Dalam Negeri, sebagaimana tercantum dalam Pasal 65 (4), 89 (23), 94 (2), 114 (4) UU No 32/2004, merupakan kemunduran visi penyelenggaran pemilu jurdil yang bebas intervensi pemerintah dan kembali pada era pemilu di bawah Depdagri pada masa Orde Baru.
Dia mengemukakan, pencantuman tersebut juga merupakan langkah mundur dalam proses demokratisasi di Indonesia karena di negara-negar demokrasi pemilu diselenggarakan oleh lembaga yang sepenuhnya independen dari pemerintah.
"Hal ini dapat dianggap berlawanan dengan Pasal 22 UUD 1945 yang menggariskan bahwa pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri," katanya saat dengar pendapat dengan Komisi II DPR-RI, Jakarta, kemarin.
Selain itu, Cetro juga menilai, penghapusan peran KPU dalam UU Pemda menunjukkan bahwa pembuat UU cenderung melihat pilkada sebaai bagian dari rezim pemerintah daerah bukan rezim pemilu.
Pengaturan pilkada secara langsung dalam UU Pemda, jelas Hadar, semakin memerkuat asumsi bahwa pilkada adalah bagian dari rezim pemerintah daerah. Akibatnya, peran KPU sebagai penyelenggara yang bersifat nasional, tetap dan mandiri dihapus dari penyelenggaraan pilkada, bahkan tidak ada otoritas koordinasi dengan KPUD.
"Jadi, peran PP sebagai pedoman penyelenggaraan pilkada secara langsung harus diganti dengan keputusan KPU. Kalau diserahkan ke KPUD juga cacat hukum, karena entitas KPUD dibentuk oleh KPU dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KPU. Di negara federal-pun, diupayakan agar selalu ada standar dan otoritas nasional yang menetapkan standar minimum dan menjalankan fungsi supervisi dan koordinasi," kata Hadar.
Pada bagian lain, Didik Supriyanto mengemukakan, pemerintah dalam hal ini Depdagri tidak cukup mengatur pilkada lewat surat edaran Mendagri. Alasan dia, selain landasan hukumnya tidak cukup kuat untuk mengatur pelaksanaan pilkada, surat edaran Mendagri juga tidak mengatur secara rinci proses pelaksanaan pilkada.
Melalui surat edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/3052/ SJ tertanggal 24 November 2004, Mendagri M Ma'ruf memerintahkan seluruh kepala daerah untuk mempersiapkan proses dan tahapan pelaksanaan pilkada secara langsung. Surat edaran Mendagri tersebut merupakan pedoman awal sekaligus antisipasi sebelum keluarnya PP Pilkada yang kini dalam proses finalisasi.
Didik Supriyanto mengemukakan, pemerintah perlu segera mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai penjelasan dan pedoman pelaksanaan pilkada langsung yang diamanatkan UU 32/2004 tentang Pemda karena PP itu diharapkan dapat menutupi kelemahan UU Pemda.
Ditambahkan, paling lambat PP itu harus terbit pada Desember 2004 sebab proses pendaftaran pemilih dan rekrutmen panitia pengawas pilkada dimulai enam bulan sebelum hari pemungutan suara. Diingatkan pula, proses pendaftaran pemilih merupakan tahapan yang paling krusial karena sangat menentukan jumlah pemilih dan jumlah suara serta kelengkapan logistik pemilu.
"Proses pendaftaran pemilih merupakan salah satu tahapan paling krusial," katanya.
Dia menambahkan, pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat atas aturan main pilkada. Tujuannya agar pihak-pihak yang berkepentingan dapat menyiapkan langkah antisipasi terhadap segala kemungkinan.