Pemerintah Provinsi Papua
mengkhawatirkan dampak negatif tak beroperasinya perusahaan tambang emas
raksasa, PT. Freeport Indonesia (PTFI), akibat izin ekspor konsentrat yang
belum ada tanda-tanda diperpanjang oleh Pemerintah Pusat.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan
(Disnakerduk) Papua Yan Piet Rawar menilai tak beroperasinya Freeport
berpotensi menganggu perekonomian Papua, bahkan nasional. “Freeport tidak
beropeasi sangat berpengaruh besar mengganggu perekonomian.â€
Sementara menyoal sisi ketenagakerjaan, ucap
dia, pihaknya mengkhawatirkan potensi kebijakan rasionalisasi anggaran yang
berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK), karena konsekuensi atas
penghentian ekspor konsentrat tersebut.
Apalagi perusahaan raksasa tersebut
mempekerjakan sekitar 4.000 – 5.000 pekerja asli Papua, dengan total 30 ribu
tenaga kerja, sampai dengan kontraktor maupun sub kontraktor.
“Sehingga kami Pemprov Papua dari sisi tenaga
kerja mengharapkan tidak terjadinya pemutusan hubungan kerja. Ini artinya
perusahaan harus berjalan terus. Tapi sisi lain, kami minta Freeport juga bisa
segera memenuhi permintaan pusat untuk membangun smelter. Sehingga ijin
konsentrat bisa segera diperpanjang,†ucapnya.
Senada disampaikan Asisten Bidang Perekonomian
dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Papua, Elia Loupatty. Menurut dia, meski izin
ekspor konsentrat Freeport diperpanjang, Papua hanya mendapat Dana Bagi Hasil (DBH)
yang sedikit.
“Apalagi tidak diperpanjang (Papua justru
tidak akan mendapat apa-apa). Karena itu, kalau (Pemerintah Pusat) ada
pertimbangan lain (sehingga belum memperpanjang izin konsentrat) maka Papua sebagai
wilayah tempat beroperasinya Freeport, hendaknya kami diberi tahu mengenai
perpanjangan izin tersebut.â€
“Kenapa? Karena banyak resiko yang harus kami
pikul dan bukan soal uang saja, tetapi mengenai pekerja dan mereka sebagian
besar merupakan orang asli Papua,†terang dia.
Elia juga berharap pihak PTFI dengan
pertimbangan pemerintah pusat, agar dapat membangun smelter di Bumi
Cenderawasih. Tuntutan tersebut dipandang lumrah karena perusahaan tambang emas
raksasa itu, beroperasi di wilayah Papua.
“Saya rasa tidak ada tuntutan yang luar biasa.
Sebenarnya bicara ekonomi, modal dan biaya dan lainnya, tentunya kalau produksi
lebih ekonomis bila smelter dibangun di Papua.â€
“Apalagi di timika lahan masih cukup luas,
sehingga apa sulitnya smelter dibangun di wilayah Papua? Kami ingin smelter di
Papua sehingga punya nilai tambah serta dampak ekonomi, sosial maupun tenaga
kerja di tanah ini. Sebab smelter bisa menjadi pemicu bangkitnya industri lain
di Papua, seperti pertanian atau kayu dan lainnya. Karena untuk memajukan
daerah butuh lompatan ekonomi yang luar biasa. Apalagi karena kami tertinggal,
harus ada lompatan sehingga kami rasa pusat harus pertimbangkan maksud ini,†tandasnya.
Sebelumnya,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memberi sinyalemen untuk
tidak memperpanjang ekspor Freeport dalam waktu dekat lantaran belum memenuhi
sejumlah persyaratan seperti, belum membangun fasilitas pemurnian dan
pengolahan atau smelter.
Izin perpanjangan ekspor perusahaan emas
tambang terbesar di dunia tersebut, akan habis besok hari ini Rabu (11/1).