10Jul 03
- Uncategorized
- 3629 x dilihat.
Dikalangan para kabinet Presiden Megawati Soekarno Putri, dan para pembantunya, ternyata ada perbedaan pendapat dan cara penanganan yang saling bertentangan tentang Provinsi Papua. Sejak Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani Undang-Undang RI No 21 Tahun 2001, tanggal 21 November 2001, maka Provinsi Papua berstatus "Otonomi Khusus". Dan nama Irian Jaya menjadi Papua. Inti dan daya tarik dari undang-undang itu bagi masyarakat Papua, khususnya lapisan terdidik yang selama ini ragu atas ketulusan Jakarta, adalah dibentuknya Majelis Rakyat Papua (MRP). Lembaga itu didirikan untuk menampung berbagai aspirasi seperti disalurkan oleh wakil-wakil agama, wakil-wakil adat dan wakil-wakil perempuan (Pasal 19). Mengenai beberapa hal, MRP mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan "Pertimbangan dan Persetujuan" (Pasal 20). Dengan mencantumkan pasal-pasal seperti itu agaknya, maka status "Otonomi Khusus" menjadi lebih bermakna. Namun Anda perhatikan ketentuan Pasal 23 tentang kewajiban MRP. Cukup dua ayat saja : a. Mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan RI dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua. b. Mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 serta mentaati segal perautaran perundang-undangan. Tentu tidak semuanya kita ini sempat dan juga mempelajari sebuah produk hukum secara teliti. Hidup yang sibuk ini disita oleh berbagai kegiatan yang agaknya lebih berguna daripada membaca sebuah undang-undang. Setelah mempelajarinya, dapat saya sampaikan kepada Anda yang serba sibuk bahwa kualitas UU No 21 Tahun 2001 patut dipuji. Ia mencerminkan suatu kepekaan politis dengan menampung sebagian besar keresahan dan aspirasi masyarakat Papua. Selama kunjungan baru-baru ini ke Provinsi Papua dalam berbagai percakapan di Jayapura, Manokwari dan Biak, tidak saya jumpai seorang tokoh masyarakat yang tegas menolak Otonomi Khusus seperti diperinci dalam UU No 21 Tahun 2001. Memang ada skeptis tentang ketulusan pemerintah pusat di Jakarta tapi hampir selalu masih diberikan peluang waktu untuk kemungkinan perkembangan yang baik. Dalam konteks catatan diatas, sungguh gawat apa yang diucapkan oleh Menteri Hari Sabarno baru-baru ini. Seperti diberitakan oleh Suara Pembaharuan (edisi Sabtu, 28/6), dia katakan bahwa Peraturan Pemerintah tentang pembentukan MRP di Papua belum bisa dikeluarkan karena "Lembaga tersebut memiliki kekuasaan yang sangat besar". Ia khawatir bahwa "MRP melahirkan hal-hal yang menimbulkan disintegrasi bangsa". Perhatikan kutipan langsung yang diucapkan oleh Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno:"Oleh karena itu, sulit dikeluarkan PP tentang MRP. Masak kita meski bikin negara dalam negara". Sungguh mengejutkan pandangan seorang menteri dalam kabinet Mega - Hamzah Haz ini, yang justru ditugaskan untuk melaksanakan reformasi dan demokrasi dalam pemerintahan. Benar bahwa latar belakangnya adalah militer. Tapi dia bertahun-tahun berpengalaman sebagai Ketua Fraksi ABRI/Polisi di DPR/MPR sehingga seyogyanya wawasannya menjadi lebih luas. Sebuah Undang-Undang yang secara demokratis dipersiapkan, diperdebatkan di DPR dan diterima, kemudian di sahkan oleh tanda tangan Presiden RI - kok mudah saja ditafsirkan ulang oleh salah seorang pembantu Presiden ? Meskipun UU No. 21 Tahun 2001, khusus tentang MRP secara jelas dan tegas menandaskan kewajibannya untuk "Mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI", rupanya Menteri Subarno tidak juga yakin. Apakah heran anda, kalau di daerah-daerah bukan saja di Papua sungguh meningkat keraguan tentang ketulusan Jakarta melaksanakan Reformasi dan Demokrasi ?. Intinya adalah kepercayaan pada kemampuan inovasi dan rasa kebangsaan masyarakat di daerah-daerah. Kepercayaan itu rupanya tipis sekali pada diri Menteri Hari Sabarno. Karena itulah timbullah ucapan aneh "Bikin Negara Dalam Negara". Sekarang jelaslah kenapa diusahakan supaya keluar Keputusan Presiden No 1 Tahun 03 tentang percepatan pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Barat. Landasannya adalah sebuah Undang-Undang No 45 Tahun 1999 yang secara hukum (dan secara politis) dan tidak relevan oleh UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Apalagi pasal 76 dalam UU No 21 Tahun 2001 secara jelas mencantumkan "Pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi-Provinsi dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua, dan seterusnya??...". Ketentuan itu dilanggar terang-terangan. Perhitungan politik dibelakang Kepres No 1 Tahun 2003 itu ternyata untuk menggagalkan terbentuknya "Negara Dalam Negara" di Papua. Kalau begini keliru perhitungan politik disuatu kelompok dalam pemerintahan Megawati, bagaimanakah dapat diharapkan bahwa Papua menjadi Wilayah RI yang stabil, maju dan masyarakatnya tetap loyal ? Kontradisi intern dalam Pemerintahan tentang garis kebijakan mengenai penanganan Provinsi Papua tidak dapat dibiarkan berlarut. Kontradisi itu sampai tampak pada sebutan '"Provinsi Irian Jaya" dan "Provinsi Papua" yang dicampur adukan diberbagai produk hukum. Bagaimana dapat diharapkan investasi luar negeri dalam jumlah bermiliar dolar AS untuk mengembangkan sumberdaya alam di Papua kalau tidak ada kepastian politik dan hukum? Penanganan Pemerintahan yang mantap, situasi kondisi yang stabil serta peraturan fiscal yang tidak dirubah-rubah seenak pejabat, merupakan syarat penting untuk menarik investasi besar. Tanpa investasi luar negeri yang besar, sulit diharapkan bahwa Indonesia mampu mengadakan loncatan ke depan. Dua hal yang agaknya masih dapat dilakukan supaya Papua jangan berkembang menjadi masalah yang justru menyulitkan negara kesatuan. Pertama, "Presiden perlu intervensi secara tegas untuk menghentikan kontradisi intern dalam Pemerintahan ini. UU No 21 Tahun 2001 harus dilaksanakan secara utuh untuk tetap menjamin antusiasme dan loyalitas masyarakat Papua. Kalau ada menteri yang tidak sanggup melaksanakannya, atau mengadakan tafsiran sendiri yang keliru lebih baik dicari penggantinya yang baru". Kedua, "Dewan Perwakilan Rakyat sudah waktunya mendiskusikan pelaksanaan UU No 21 Tahun 2001 yang tersendat-sendat itu. Hasil karya DPR yang telah diundangkan tidak dihormati dalam implementasinya. Hak intrepelasi perlu diterapkan untuk mencari tahu, apa sebenarnya yang terjadi dalam Pemerintahan sekarang, sepanjang menyangkut Papua". Masyarakat Papua yang sekarang berjumlah sekitar 2,2 juta manusia "sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradap" (kata-kata dari paragraph "menimbang" dalam UU No 21 Tahun 2001). Merupakan mata rantai penting dari nation Indonesia. Sejarah politik Nasional selama lebih setengah abad membuktikan hal tersebut. Sumber : SABAM SIAGIAN (Pengamat Perkembangan Sosial Politik di Indonesia, serta Masalah Internasional. Domisilinya di Jakarta).