Dinas Kesehatan Papua membantah pernyataan Wakil Ketua
Komisi V DPR Papua Nioulen Kotouki yang menyebut program Kartu Papua Sehat
(KPS) tak mengakomodir kepentingan orang asli Papua (OAP) saat berobat ke rumah
sakit.
Sebaliknya, menurut Kepala Dinas Kesehatan Papua Aloysius
Giay, keberadaan KPS justru sangat membantu dan memudahkan OAP dalam berobat ke
rumah sakit. Bahkan menurut data terakhir, jumlah pengguna KPS naik menjadi 1,3
juta di 2016 dibanding 2015 sebanyak 1,2 juta pengguna.
“Kita sayangkan pernyataan subyektif bapak Wakil Ketua DPR
Papua Komisi V Nioluen Kotouki yang menilai KPS tidak bermanfaat banyak bagi
orang asli Papua. Memang kita butuh sikap kritis dan masukan konstruktif asal
saja berdasarkan data dan kajian yang komprehensif”.
“Kalau bilang KPS tidak bermanfaat, mari kita bicara
berdasarkan data dari seluruh rumah sakit. Anggota dewan bisa minta data
pembanding pasien yang dibiayai KPS dan BPJS berapa di seluruh rumah sakit.
Jangan hanya satu kejadian malah langsung ambil kesimpulan untuk seluruh
layanan program KPS itu,” keluh Aloysius dalam rilis yang diterima harian ini,
Sabtu akhir pekan kemarin.
Masih menurut Aloysius, kehadiran KPS sebenarnya digunakan
untuk mendukung komponen pembiayaan yang tidak ditanggung dalam Jaminan
Kesehatan Nasional seperti BPJS. Peserta program KPS ini juga merupakan orang
asli Papua yang tidak mampu dan warga non Papua yang memenuhi syarat.
Dilain pihak, dana KPS yang dibebankan pada APBD Provinsi
Papua juga diperuntukkan bagi penyediaan obat-obatan, alat maupun bahan habis
pakai, makanan pasien, biaya administrasi, dan biaya operasional yang meliputi
transportasi setempat, pengadaan peti jenazah, pembayaran premi Kelas III
Jaminan Kesehatan Nasional, jasa atau insentif pelayanan, dan penyediaan alat
kedokteran minimal untuk rumah sakit di wilayah regional.
“Tapi satu yang perlu dipahami bahwa KPS itu tidak dilayani
di Puskesmas. KPS hanya untuk tiga RSUD Provinsi, seluruh RSUD Kabupaten, empat
rumah sakit mitra, beberapa klinik keagamaan, dan membiayai transportasi pasien
dari pedalaman bekerjasama dengan empat maskapai penerbangan.
“Kemudian yang terpenting lagi bahwa dana KPS bukan disimpan
di Dinas Kesehatan. Tetapi di Badan Keuangan dan Asset Daerah Provinsi Papua
dan langsung ditransfer ke Badan Keuangan Kabupaten dan rumah sakit daerah
maupun mitra. Sehingga jika dikatakan dana ini dimanfaatkan oleh yang tidak
berkepentingan itu harus dibuktikan dengan data,” terang dia.
Sementara disinggung soal keberadaan KPS tak berguna dan
tumpang tindih dengan BPJS, hal itu diluruskan Aloysius.
“Dalam Undang-Undang Jaminan Kesehatan Nasional, ada pasal
dan ayat khusus yang mengatur bahwa
karena pembiayaan sistem jaminan kKesehatan nasional memakai sistem paket.
Sehingga bila ada paket pembiayaan yang tidak dibiayai BPJS, maka pemerintah
daerah wajib hukumnya membiayai paket itu”.
“Apalagi ada Perdasus tentang bidang kesehatan yang mengatur
pembiayaan kesehatan menggunakan Dana Otonomi Khusus. Jadi, gubernur tidak
salah luncurkan KPS, justru dia jalankan amanat UU Otsus,” terangnya.
Dan lagi, lanjut dia, sebenarnya Dinkes mendukung rencana menghilangkan
KPS dan memaksimalkan pelayanan BPJS. Sebab sesuai amanat UU Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang
BPJS Kesehatan, dimana paling lambat tahun 2019, semua jaminan kesehatan daerah
harus berintegrasi ke Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Pun begitu, tambah dia, kendala utama di Provinsi Papua
adalah syarat untuk ikut kepesertaan BPJS agar memiliki Nomor Induk
Kependudukan (NIK). Sementara sebagian besar masyarakat Papua tak memiliki NIK.
“Saya mau bilang di Papua ini, dari total penduduk yang ada
hanya 30 persen yang punya NIK. 70 persen tidak punya NIK. Nah kalau hanya 30
persen warga asli Papua yang dicover BPJS, lalu 70 persen rakyat Papua yang ada
dibalik gunung, lembah, di pesisir dan kepulauan terpencil yang tidak punya NIK
ambil biaya penanganan kesehatan darimana?”.
“Oleh karena itu, kita menyayangkan pernyataan yang
mengatakan bahwa KPS tumpang tindih dengan Jaminan Kesehatan Nasional yang
diselenggarakan oleh BPJS. Padahal justri KPS sebagai solusi untuk menjamin
warga yang tidak tercover di BPJS,” tuntasnya.
Untuk diketahui, Program KPS ini dimulai tahun 2014
dengan total anggaran sebesar Rp 250 juta. Sementara sepanjang than anggaran
2015 - 2017, besaran alokasi dana KPS masing-masing Rp 300 milyar.