Pencaplokan tiga kampung yang dilakukan
Bupati Pegunungan Bintang, mendapat tanggapan keras dari Bupati Boven Digoel
Benediktus Tambonop selaku pemilik daerah yang sah secara administratif.
Menurut Benediktus, Bupati Pegunungan Bintang tak punya
etika pemerintahan karena melantik tiga kepala kampung persiapan yang tak masuk
sebagai wilayahnya. “Mestinya kalau bertetangga
kan saling bertanya, menyapa atau membicarakan dengan baik kalau ada sesuatu
hal.”
“Apalagi sudah ada kesepakatan di tingkat pusat dalam rapat
penentuan batas wilayah, yang mana mau ditaruh titik koordinat dan sudah
disepakati serta dihadiri perwakilan Kabupaten Pegunungan Bintang bahwa wilayah
Danowage Korowai itu masuk Boven Digoel. Memang yang hadir bukan bupati tapi asisten,
namun dalam etika pemerintahan keputusan itu harus ditaati,” terang dia di
Jayapura, Kamis (23/8).
Menurutnya, sebelum pelantikan Kepala Kampung Danowage serta
dua lainnya yang dilakukan Bupati Pegunungan Bintang, Pemda Boven Digoel sudah lebih
dahulu melaksanakan pembangunan di wilayah tersebut.
Dia mencontohkan seperti pada saat banjir, dimana Pemda Boven
Digoel yang lebih dulu turun melakukan penanganan. Tak hanya itu, Boven Digoel
sudah membangun Pustu di Danowage, untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan pada
wilayah tersebut.
“Bahkan kita sementara mengurus supaya Danowage secara etika
pemerintahan menjadi sah. Yakni dengan akan menetapkan dulu aturan UU-nya, semisal
Peraturan Daerah (Perda) lalu kemudian melantik kepala kampung.”
“Namun yang dilakukan Bupati Pegunungan Bintang sebaliknya.
Lantik dulu kepala kampung lalu buat Perda. Sehingga bagi kami ini satu
kegiatan ilegal, apalagi situasi sekarang ada moratorium pemekaran wilayah.
Sehingga kalau kita pahami betul bagaimana berperintahan yang baik, maka kalau pusat
melarang maka kita dibawahnya mematuhi,” jelasnya.
Sementara kerugian lain yang diderita dari pelantikan itu,
yakni munculnya ketidakpastian hukum bagi wilayah itu. “Ini juga buat
masyarakat jadi kebingungan. Sebab pemerintahan yang baik adalah yang tidak
meninggalkan masalah bagi masyarakat.”
“Sebab hal itu yang mendasari kenapa sampai disebut
pencaplokan. Intinya kembali kepada pribadi masing-masing. Saya tidak punya
kepentingan politik apapun. Bagi saya sebagai mantan birokrat yang jadi bupati,
yang terpenting bagi saya bagaimana melayani masyarakat lebih maksimal. Sebab
kalau wilayah ini lebih efektif dilayani oleh Pegunungan Bintang saya terima,”
pungkasnya.