Pemerintah Provinsi Papua mengimbau bupati dan
walikota untuk tak melakukan mark up jumlah penduduk, yang justru berpotensi
menghambat informasi pembangunan kepada pemerintah pusat.
“Sebab Papua ini butuh data yang riil
(nyata,red) dari daerah. Dengan demikian program kegiatan yang turun baik dalam
bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan fasilitas infrastruktur pun
sesuai dengan kebutuhan dan nyata di lapangan,” terang Gubernur Papua Lukas
Enembe di Jayapura, Selasa (15/8) kemarin.
Lukas menyatakan bakal tak mentoleransi sikap
pemerintah kabupaten yang memanipulasi data penduduk. Karena itu, dia meminta
kepala daerah di seluruh Papua untuk memastikan jumlah penduduk di wilayahnya,
sehingga program kerja yang turun memberi efek yang maksimal untuk kemajuan
diatas tanah ini.
Sebelumyna, Sekda Papua Hery Dosinaen menduga
ada faktor kepentingan politik terkait kenaikan jumlah penduduk di
kabupaten/kota.
Ia menduga ada upaya untuk mengejar pendapatan
Dana Alokasi Umum (DAU), yang dalam pengalokasiannya disesuaikan dengan banyaknya
jumlah penduduk satu wilayah.
“Karena ada pengalaman Kabupaten/Kota telah
menaikan jumlah penduduk hanya karena kepentingan politik lokal, Pemilukada,
Pileg dan juga salah satu indikator penting adalah jumlah penduduk untuk
bagaimana mendapatkan dana alokasi umum”.
“Artinya apa disini, semakin besar jumlah
penduduk semakin besar pula DAU yang diturunkan ke Kabupaten/Kota. Inilah yang
membuat terjadi lonjakan jumlah penduduk sangat signifikan dan tidak dibarengi
dengan kondisi-kondisi objektif yang ada,” katanya kepada pers di Jayapura,
belum lama ini.
Ia berujar, mestinya pemerintah pusat tak
gampang membuat dan menyetujui indikator peningkatan alokasi jumlah penduduk.
Sebab dengan begitu, maka kondisi pembangunan tidak akan berjalan tepat sasaran
sebab data kependudukan yang tak valid.
“Jumlah penduduk kita di pegunungan terisolasi
karena kondisi geografi Papua yang begitu berat, apalagi dengan kemahalan harga
barangnya. Makanya kita harap ada regulasi yang jelas mengenai data
kependudukan”.
“Ini artinya apa, jangan sampai terjadi tumpang tindih
dalam pemerintahan ditingkat bawah terhadap regulasi sektoral (data
kependudukan) sehingga mengakibatkan validasi datanya tak jelas. Tertama
mengenai jumlah orang asli Papua, dimana sangat disayangkan UU Otsus yang sudah
bergulir belasan tahun namun belum dimiliki data kependudukan mengenai jumlah
orang asli Papua,” terang dia.