Banyaknya permasalahan seperti kemacetan lalu lintas di kawasan perkotaan, timbulnya lingkungan perumahan kumuh dan meningkatnya frekuensi bencana alam serta pencemaran lingkungan merupakan cerminan kualiltas ruang kehidupan masih jauh dari harapan pemerintah. Permasalahan lain yang juga cukup mengkhawatirkan adalah semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup yang terjadi di kawasan perkotaan. Ungkapan itu diutarakan Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Hermanto Dardak dalam suatu lokakarya belum lama ini di Jakarta. Menurut Hermanto dari semua permasalahan itu, kejadian bencana alam khususnya tanah longsor merupakan hal yang perlu mendapatkan perhatian besar dari pemerintah. Hal ini dikarenakan mengingat kerugian besar yang timbul pasca bencana. Sementara itu terjadinya penurunan kualitas lingkungan di perkotaan akibat penurunan luas ruang terbuka hijau dirasakan semakin memprihatinkan. “Kita bisa lihat semakin sulit dijumpai ada ruang terbuka hijau di kota. Lebih ironis lagi sudah kondisi seperti itu masih ditambah lagi adanya pencemaran lingkungan dimana-mana,” tegas Dirjen Tata Ruang. Tingginya frekuensi bencana longsor dan kerugian yang ditimbulkannya seharusnya menyadarkan akan perlunya reposisi perilaku manusia dalam mengelola lingkungan. Menurut Hermanto upaya ini harus diletakkan pada sebuah kerangka pikir yang memungkinkan seluruh pihak saling bersinergi dalam merevitalisasi ruang kehidupan guna terwujudnya ruang yang nyaman dan berkelanjutan. Untuk mengarahkan perilaku tersebut, dibutuhkan seperangkat kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan rawan bencana longsor yang memperhatikan berbagai kepentingan sektoral secara seimbang. Perangkat ini diharapkan bisa menjadi acuan dalam pelaksanaan pembangunan kedepan. “Yang penting perangkat itu bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan tidak mengabaikan pelestarian lingkungan,” tegasnya.
Terkait dengan bencana longsor, Dirjen Penataan Ruang mengungkapkan beberapa tantangan yang dihadapi saat ini antara lain karena tingginya laju alih fungsi lahan berfungsi lindung, pengembangan kegiatan yang tidak sesuai dengan karakteristik kawasan, pola pengelolaan kegiatan yang tidak sesuai dengan karakteristik kawasan dan kurangnya penyebarluasan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Khusus untuk kawasan rawan bencana, Hermanto menyebutkan pola pengelolaan kawasan dilakukan melalui pengaturan kegiatan manusianya. Aturan itu bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup dan melestarikan fungsi lindung kawasan sekaligus menghindari berbagai kegiatan di kawasan rawan bencana seperti tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasaional (RTRWN). Kebijakan dalam RTRWN masih bersifat makro, sehingga perlu diterjemahkan dalam langkah-langkah operasionalisasi mulai dari tahap perencanaan, tahap pemanfaatan dan tahap pengendalian pemanfaatan tata ruang. Untuk jangka pendek, aspek peningkatan pengendalian menjadi prioritas. Pasalnya, peningkatan pengendalian bertujuan untuk menertibkan sekaligus mencegah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai peruntukkannya. Oleh sebab itu tambah Dirjen Penataan Ruang, tahap pengendalian didalamnya harus memuat sanksi tegas dan konsisten terhadap pelanggarnya. Disamping itu, mekanisme insentif dan disinsentif perlu diterapkan untuk melindungi kawasan rawan bencana longsor. Banyaknya pelanggaran tata ruang lebih disebabkan lemahnya dan tidak konsistennnya penerapan sanksi. Hal ini mengakibatkan preseden dan memicu terjadinya pelanggaran kembali terulang. Terlebih lagi untuk kawasan rawan longsor. Bila sanksinya terabaikan, akan meningkatkan potensi terjadinya bencana longsor. Karena itu Hermanto berharap pemerintah dapat bersikap lebih tegas dan tidak memberikan toleransi kepada pelanggar tata ruang.