Sebagian besar kasus penyalahgunaan keuangan negara dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Papua terhadap penyelenggaraan dana APBD/APBN Tahun Anggaran 2006, telah dilimpahkan kepada pihak penyidik Polda dan Kejaksaan Tinggi Papua untuk mendapat proses lebih lanjut. Sebelumnya, BPKP dalam hasil audit tahap kedua menemukan 10 penugasan kasus penyalahgunaan keuangan negara dengan nilai kerugian yang ditimbulkan kurang lebih Rp. 53,6 miliar. Kesepuluh penugasan kasus yang telah dilimpahkan, merupakan hasil audit penggunaan dana APBD/APBN di instansi, badan, maupun lembaga pemerintahan dilingkungan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Papua.
Salah satu dari kesepuluh penugasan kasus penyalahgunaan keuangan negara yang telah dilimpahkan itu, Perusahaan Daerah (PD). Irian Bhakti Papua. Hal ini sebagaimana dikatakan, Kepala Perwakilan BPKP Papua, Drs. Bambang Setiawan, Senin (5/3) diruang kerjanya. Dikatakan, dari total jumlah anggaran hasil audit tahap kedua yakni Rp. 53,6 miliar, telah dikembalikan sebanyak Rp. 781,63 juta kepada kas negara. Walaupun dana tersebut telah dikembalikan, yang bersangkutan akan tetap diproses karena perbuatannya telah nyata-nyata dan dengan sengaja melakukan perbuatan melanggar hukum. “Jadi sebenarnya ada dua sanksi kepada yang melakukan penyalahgunaan keuangan negara. Sanksi pertama adalah sanksi administrasi berupa penurunan pangkat atau diberhentikan
dari jabatan, karena melakukan penyalahgunaan keuagan negara secara tanpa disengaja dalam arti luas. Apakah dia tidak tahu atau lainnya. Sanksi kedua adalah diproses hukum, apabila telah dengan sengaja dan sadar melakukan perbuatan yang melanggar hukum,” tutur Bambang. Menyinggung soal lama waktu penyidikan, dikemukakannya, pasti akan memakan waktu yang cukup lama. Karena dari situ akan dilakukan pencocokan-pencocokan kelengkapan bukti otentik maupun pengumpulan bukti-bukti lainnya oleh pihak kepolisian dan kejaksaan.
“Kalau proses penyidikan itu memang pasti akan memakan waktu lama. Misalnya, bukti dari pihak kepolisian belum memberatkan maka akan dikembalikan ke BPKP untuk dilakukan audit lagi. Atau dari pihak kepolisian kepada kejaksaan, misalnya jaksa melihat bukti kurang, maka berkas akan dikembalikan kepada pihak kepolisian untuk diminta
melengkapi,” katanya. Menurut penilaian Bambang, kasus korupsi yang terjadi di Papua adalah kasus yang relatif serta juga sering terjadi didaerah manapun di Indonesia. Daerah Papua, menurutnya, tidak bisa dikatakan sebagai wilayah atau daerah terkorup, namun praktek korupsi dapat terjadi karena lemahnya sistem pengelolaan anggaran. Oleh karena itu, fungsi BPKP tidak hanya melakukan audit, tapi melakukan perbaikan terhadap sistem pengelola anggaran. Contohnya, penyusunan RAPBD Papua, yang menggunakan produk dari BPKP, yakni disusun secara komputerise sehingga waktu penyusunannya berjalan lebih cepat dan efisien serta tingkat penyalahgunaan keuangan negara dapat diminimalisir. Dengan begitu diharap, good governance serta clean governance di Papua akan dapat terwujud di Papua dalam beberapa tahun kedepan.