Penularan virus HIV/AIDS, tidak hanya dapat ditularkan melalui hubungan seks, jarum suntik, namun dapat ditularkan melalui transfusi darah. Mengapa transfusi darah ? Penularan virus mematikan ini, akan dapat terjadi apabila seseorang menerima transfusi darah dari pengidap HIV/AIDS. Hal ini dikarenakan, apabila seseorang yang baru saja terjangkit virus HIV, kemudian melakukan transfusi darah, maka saat pemeriksaan darah dilaboratorium, petugas tidak akan menemukan tanda-tanda virus mematikan itu.
Dengan kata lain, selama beberapa bulan hingga 6 bulan kedepan, virus HIV yang telah ada didalam tubuhnya, belum dapat dideteksi didalam darah. Karena virus mematikan ini memiliki masa jendela dengan jangka waktu maksimal 1 tahun. Kemudian, apabila darah yang telah terjangkit virus mematikan ini, langsung diberikan kepada orang yang sehat, maka orang tersebut juga telah positif ikut terjangkit HIV. Hal demikian yang perlu di cegah secara bersama-sama, guna memutus jalur mata rantai penyebaran virus mematikan yang telah membunuh jutaan populasi manusia didunia ini.
Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Papua, Drh. Constant Karma, mengatakan percepatan penularan virus mematikan HIV/AIDS melalui transfusi darah perlu “diputus mata rantainya” untuk menekan lajunya jumlah penyebaran virus mematikan tersebut.
Menurutnya, penularan HIV/AIDS melalui transfusi darah, akan sangat berpotensi meningkatkan jumlah pengidap HIV/AIDS, pemahaman terhadap pendeteksian HIV dalam darah minim. Demikian dikatakannya, disela-sela kegiatan pembukaan sosialisasi Hasil Need Assesment Peningkatan Pelayanan Darah, yang digelar di Aula Youtefa View Hotel Jayapura, Selasa (18/7), kemarin
Ditekankan, penularan HIV/AIDS dalam transfusi darah, perlu dicegah dengan adanya pemahaman yang cukup, berkaitan dengan pengambilan darah kepada setiap orang yang melakukan donor darah. Karena, kontak langsung dengan darah pengidap HIV/AIDS, sangat berpotensi memberikan penularan kepada orang yang sehat.
“Jadi, potensi penularan virus mematikan HIV/AIDS terhadap transfusi darah ini, sangat kuat. Karena kontak langsung dalam darah, dapat langsung menjangkiti orang yang sehat,” ujarnya.
Dikatakan, kualitas pelayanan unit transfusi darah (UTD) di rumah-rumah sakit di Papua, belum cukup maksimal. Sementara itu, pidemi HIV/AIDS di Papua sudah mengarah ke populasi umum. Karena resiko penularan melalui transfusi darah merupakan hal yang penting untuk mendapat perhatian. “Jadi atas pertimbangan ini, KPA Papua bekerja sama dengan Indonesian HIV/AIDS Prevention nad Care Project (IHPCP) kantor Papua, melakukan nned assessment di 10 kabupaten/kota se-Papua pada hari ini.
Need assessment bertujuan memberikan pemahaman tentang situasi dan perkembangan pelayanan tranfusi darah. Sehingga data need assessment yang dihasilkan dapat dikembangkan untuk mengembangkan program pelayanan transfusi darah di semua UTD sebagai salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan berbagai penyakit lain,” ujarnya.**