"Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu menegaskan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan Papua, baik hutan konservasi, hutan konversi, maupun hutan produksi, didedikasikan untuk menyelamatkan planet bumi, menyelamatkan seluruh umat manusia, dan untuk mensejahterakan rakyat miskin yang adalah pemilik sah hutan Papua. Penegasan ini sebagaimana ditegaskan Suebu, ketika memberi pengarahan kepada peserta Workshop Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Mendukung Kebijakan Baru Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Papua, bertempat di Sasana Karya Kantor Gubernur Dok II Jayapura, Selasa (23/3).
Menurut Suebu, sebelumnya Pemerintah Pusat sudah menyerahkan seluruh kewenangan kepada Provinsi Irian Jaya (sebutan Provinsi Papua) pada waktu itu, terkecuali 5 hal yang tidak boleh dilakukan, yakni moneter, militer, peradilan, luar negeri dan agama. Ini artinya, kewenangan dibidang kehutanan 100 persen diserahkan kepada Provinsi Papua. Sehingga status hutan di Papua kini dikembalikan kepada pemiliknya, yakni rakyat itu sendiri. Dengan kata lain, hutan di Papua tidak dimiliki oleh Negara dan rakyat adalah pemilik dari hutan itu sendiri. “Itu prinsip yang pertama dan utama yang paling dasar dari kebijakan baru yang pada bulan Desember 2008 lalu kita terbitkan, yakni Perdasus tentang pengelolaan hutan berkelanjutan di Papua. Produk hukum yang dibahas bertahun-tahun ini, mengacu kepada 2 UU, yakni UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan,” jelasnya.
Lebih lanjut dijelaskan, 55% dari lebih kurang 42 juta hektar hutan di Tanah Papua adalah hutan konservasi, yang mutlak harus dilindungi. Untuk itu Pemerintah Provinsi Papua saat ini tengah menyiapkan 1500 polisi hutan (forest rangers) untuk menjaga hutan konservasi tersebut agar tetap terjaga. Sementara pemanfaatan/pengelolaan hutan konversi yang meliputi 20% dari luas hutan Papua, lanjut Suebu, ”Hanya bisa dilakukan pada kawasan-kawasan yang memiliki low value of conservation. Artinya, yang dikonversi hanya hutan-hutan yang kekayaan flora dan faunanya rendah. Sedangkan hutan konversi yang kaya flora dan faunanya, tidak boleh dikonversi. Karena kekayaan flora dan fauna ini akan mendatangkan keuntungan ekonomi dari ecotourism, seperti di Costa Rica.
Dijelaskan pula, hutan yang dapat dikonversikan lebih difokuskan untuk menghasilkan green energy. Ini dimaksudkan agar pemanfaatan hutan konversi di Papua memberikan sumbangan bagi tersedianya energi ramah lingkungan. ”Selain itu, pemanfaatannya harus mengikuti prinsip-prinsip CDM (clean development mecanism),” jelas Suebu. Ditegaskan pula bahwa kayu yang hendak dikirim keluar Papua harus diolah dulu di Papua. ”Tidak boleh dikirim keluar dari Papua dalam bentuk log! Kebijakan kita adalah pengolahan kayu harus dari hulu sampai hilir sebelum dijual keluar, tujuannya supaya kita mendapatkan nilai tambah (added value),” ujar Suebu, salah satu penerima anugerah pahlawan lingkungan 2007 oleh majalah TIME.
Mengenai pemanfaatan hutan produksi, Gubernur menjelaskan, berdasarkan rekomendasi United Nation Framework Convention on Climate Change di Bali 3-14 Desember2007, “Maka kita harus mereduksi emisi dengan cara mengurangi deforestasi. Ini kebijakan Nasional yang baru. Dalam rangka itu, maka hutan harus dikelola secara berkelanjutan. Untuk itu, harus dikembangkan community logging. Harus ada forestry agreement dengan rakyat. Rakyat harus berposisi sebagai mitra dari investor. Dengan demikian, kapasitas industri, sangat ditentukan oleh ketersediaan bahan baku. Dan, dukungan bahan baku untuk selamanya hanya dimungkinkan bila hutan dikelola secara berkelanjutan Budaya menanam harus lebih penting dari budaya menebang. Tebang 1 tanam 10.
Dibagian lain, Gubernur menekankan bahwa Provinsi Papua bukan Provinsi bahan baku. “Sebab bila kita menjadi Provinsi bahan baku, maka kita menjadi pihak yang dirugikan dalam semua aspek. Provinsi ini harus menjadi yang terdepan dalam kebijakan baru di bidang pengelolaan hutan. Kebijakan ini akan menguntungkan semua dan mencegah praktek-praktek illegal logging. Kita tidak melarang kayu keluar dari Papua. Kita melarang kayu gelondongan keluar dari Papua. Kayu bisa keluar dari Papua setelah diproses. Sebelum diproses, Papua dirugikan dalam berbagai aspek. Maka ini harus dihentikan. Kalau berniat baik, pikirkan untuk bangun industri bernilai tinggi dan bicarakan dengan masyarakat setempat,” ajak Suebu kepada para pengusaha yang hadir dalam loka karya itu. Itu sebabnya, lanjut Gubernur, izin perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) di Provinsi Papua yang tidak aktif dan tidak membangun industri kayu olahan, maka akan segera dicabut.