Jayapura-Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), kini menerapkan sebuah motto ?jurnalisme damai? yang dijadikan suatu model penulisan bagi para wartawan yang menjunjung tinggi pemberdayaan dan pencerahan kepada public, serta menjadi modal awal yang dijadikan satu edukasi dan prinsip untuk melaporkan kebenaran informasi, tanpa menciptakan polemic yang memicu konflik dilingkungan masyarakat.
Jurnalisme damai menurut Ketua PWI , Tarman Azam, di Jayapura, (31/5) kemarin, merupakan sebuah pemberdayaan maupun pencerahan kepada publik yang dijadikan satu fungsi edukasi, tapi dalam pelaksanaanya, tetap mengacu kepada prinsip untuk melaporkan suatu kebenaran informasi.
Menurut Tarman, informasi yang akan dipublikasikan harus actual dan terpercaya serta disajikan apa adanya, dan mengacu pada kode etik penulisan berita. ?Jadi jangan sampai dipoles atau dipelintir, sajikanlah berita itu apa adanya serta berpegang pada kode etik. Sebab kalau kode etik dijunjung tinggi, tentunya tidak akan melanggar hukum. Tapi kalau wartawan tidak menghormati etik, dan akan bermuara pada suatu pemberitaan yang tidak menghormati azas praduga tak bersalah, berita kekerasan, sadisme atau cabul, padahal semua larangan itu ada dalam kode etik,? demikian dikemukakannya kepada wartawan, di Hotel Relat Jayapura, kemarin.
Tarman menjelaskan, mengapa jurnalisme damai perlu terapkan secara nasional ?
?Karena hanya dengan jurnalisme damai bangsa ini bisa membangun. Jadi, secara tidak langsung kita sudah mendorong masyarakat itu untuk berkompetisi ya, tapi bukan untuk berkonflik? ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan, arti kata kompetisi dengan konflik sangat bertolak belakang. Kosa kata konflik secara univbersal di seluruh dunia, lanjutnya, tidak akan pernah menyebabkan masyarakat itu membangun, ?Tidak ada negara konflik yang bisa membangun, contohnya Myanmar, dan negara-negara Amerika Latin,. Tapi negara ini damai, penuh ketulusan dan saling menghormati, karena itu dari sikap pers juga. Daerah konflik tidak membuka lapangqan kerja dan merangsang masuknya investor, serta ekonomi masyarakat tidak bisa diberdayakan. Oleh karena itu, konflik itu juga harus menjadi musuh bagi pers, karena dalam msyarakat konflik menyebabkan ekonomi daerah dapat menjadi terpuruk, tuturnya.
Tarman mencontohkan, suatu pemberitaan dari pers yang menimbulkan konflik seperti pengalaman yang terjadi di Amerika. Seorang negro yang mengalami kecelakaan diketahui sempat dipukuli oleh kaum kulit putih warga Amerika Serikat. Berita ini sebenarnya tidak terlalu berpengaruh, namun akibat diputar secara berulang-ulang melalui pemberitaan, sehingga menimbulkan reaksi kemarahan orang-orang negro hingga menimbulkan konflik social dan hal demikian yang harus dijauhkan.
Dikemukakan, bukan berarti pers tidak harus melaporkan sebuah fakta dilapangan, namun kebenaran fakta juga harus mengaacu pada kode etik pemberitaan. Dengan kata lain, seorang wartawan yang memberi penilaian, apakah pemberitaan yang disiarkannya dapat menimbulkan konflik atau tidak, dan hal itu yang sebenarnya harus dipertimbangkan secara matang-matang oleh penulis itu sendiri.
?Wartawanlah yang patut menimbang pantas tidaknya satu berita disiarkan. Jadi ada fakta, dan terserah anda apakah berita disiarkan atau tidak. Tapi kalau kita tahu fakta itu apabila disiarkan akan menimbulkan konflik maka sebaikya tidak disiarkan. Artinya kita sebagai pers jangan mengundang sebuah masalah yang sepeleh untuk dibesar-besarkan sehingga menimbulkan konflik social yang akan berpengaruh buruk dan merugikan banyak pihak,? harapnya.**