Masyarakat Aboy
*Hidup Didalam Kegelapan, Keterbelakangan, Kemiskinan, Kebodohan, dan Keterisolasian Selama Puluhan Tahun.
Oksibil-Desa Aboy merupakan salah satu desa di daerah dataran rendah wilayah Pergunungan Tengah Papua, yang didirikan sekitar tahun 1978 oleh masyarakat pada waktu itu, dengan hidup bercocok tanam dan berpindah-pindah tempat mencari tanah yang subur untuk berkebun. Masyarakat pada waktu itu, ada yang tinggal bercocok tanam di Desa Aboy, kemudian sebagian lainnya pindah ketempat lainnya, yang mungkin pada saat sekarang ini dinamakan Desa Luban dan Tairaplu.
Desa Aboy yang merupakan Ibukota Distrik Aboy, dimekarkan dari Distrik Okbibab pada tahun 2005 lalu, untuk memperpendek birokrasi pelayanan kepada msyarakat. Maklum, jarak antara Okbibab dan Aboy, cukup jauh, hingga berhari-hari lamanya, apabila ditempuh dengan jalan kaki. Sedangkan infrastruktur pendukung seperti jalan dan jembatan, belum menyentuh sampai ke daerah ini.
Masyarakat didesa ini, sebagian besar hidup berkebun dan bercocok tanam singkong, betatas dan pisang. Sebagian masyarakat pula, hidup menjadi peternak babi dan ayam. Baik, untuk hasil ternak dan bercocok tanam yang usahakan oleh masyarakat, ternyata hanya dijual di seputaran kampung itu saja. Dengan kata lain, usaha ternak dan berkebun yang dilakoni oleh masyarakat, hanya untuk menjadi konsumsi sehari-hari mereka.
Selama puluhan tahun, mereka tidak pernah makan beras. Masyarakat mengakui, baru di tahun 2005 lalu, beras raskin pernah masuk ke daerah itu, namun hanya sekali dan dijual seharga Rp. 150 ribu per 20 kilogram.
Makanan sehari-hari masyarakat, sudah tentu hanya mengkonsumsi sagu dan betatas. Masyarakat sesekali merebus atau membakar pisang untuk dijadikan pelengkap makanan, apabila persediaan makanan menjadi menipis. Sedangkan untuk mengkonsumi ternak babi dan ayam oleh masyarakat, hanya apabila ada acara besar-besaran yang biasa disebut dengan acara bakar batu, karena mengingat harga jual ternak ini, berada pada harga jual yang cukup mahal.
Apakah masyarakat Aboy kekurangan pangan ? ya, itu benar, dalam setahun Desa Aboy sering dilanda banjir hingga tiga kali. Banjir tahunan itu, berdampak pada tanaman perkebunan dan usaha ternak masyarakat yang berlokasi dekat dengan kali atau sungai, karena tanah di daerah itu dinilai lebih subur dan kotoran ternak tidak dapat mengganggu pemukiman.
Saat Koran harian ini bertandang kesana, mereka mangakui bahwa persediaan pangan mereka sudah menipis. Beruntung ada bantuan SLT dari pemerintah, hingga meringankan beban hidup masyarakat. ?Saya sangat bersyukur, karena kami sudah kekurangan pangan dan untunglah ada bantuan dari pemerintah yang meringankan beban kami? papar Mimin Payungka salah seorang warga Desa Aboy, didampingi Mantri Desa Aboy, Wilem Lukaibra wartawan, pekan lalu.
Selama puluhan tahun, masyarakat hidup didalam kegelapan malam dan hanya ditemani oleh penerangan senter apabila pasokan baterey, masih ada. Keterbelakangan, keterisolasian dan kebodohan juga dengan setia menemani masyarakat di daerah itu. Harian ini juga sempat mengunjungi SD yang belum ada nama dan belum selesai pembangunannya dan hanya dibiarkan begitu saja tanpa perawatan. Sentuhan pendidikan sama sekali singgah di desa ini.
Puskesmas pun atau Pustu belum disediakan di desa ini. Namun beruntung ada lulusan kedokteran Uncen D3, yang adalah merupakan orang asli Aboy, yakni Wilem Lukaibra yang gigih berjuang walau hanya menjadi mantri untuk dapat memberikan sentuhan kesehatan di desanya sendiri.
Sementara itu, pelayanan pemerintahan di desa ini, sama sekali tidak berjalan sedikitpun. Masyarakat sepertinya dibiarkan hidup untuk mencari makan sendiri, ditengah-tengah keterbatasan yang mereka miliki.
Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang, Welington Wenda dalam beberapa kesempatan berjanji dan telah memploting anggaran, untuk menurunkan dana pemberdayaan distrik di kabupaten itu. Begitu pula Gubernur Papua, yang berkomitmen agar pelayanan kemasyarakatan untuk tahun anggaran 2006, difokuskan kepada pembelanjaan yang langsung menyentuh masyarakat Papua, khususnya di daerah pedalaman.
Anggaran yang disediakan Pemerintah Daerah untuk tahun anggaran 2006 ini, adalah sekitar Rp. 1 milyar untuk pemberdayaan distrik. Rencananya, dana tersebut dikelola akan dikelola nantiny oleh masyarakat di kampung maupun distrik itu sendiri.
Kita hanya berharap agar penggunaan dana itu dapat tepat sasaran. Yang jelas, 4 tahun Otsus berjalan di Papua, belum sampai menyentuh Desa Aboy. Pembangunan didaerah pedalaman, akan dapat berjalan baik, apabila dikerjakan oleh orang-orang yang jujur dan mau membangun tanah ini.
Masyarakat sangat berharap agar seorang pemimpin maupun wakil rakyat yang mereka pilih, sesekali menemui dan ikut berbagi serta merasakan penderitaan maupun kesengsaraan yang mereka alami saat ini. Sangat terbatas, terisolasi, terkebelakang, miskin dan penerangan malam tidak pernah menghiasi desanya.
Salah seorang anak penderita penyakit limpa Imanuel Mul (9 tahun), ketika diwawancarai harian ini, bercita-cita ingin menjadi Gubernur. Karena apabila dirinya menjadi Gubernur, Imanuel berniat untuk membangun desanya, beserta desa-desa lainnya di daerah Pegunungan Papua, sehingga tidak lagi ada orang miskin, katanya.
?Sa ingin jadi Gubernur, spaya sa pu desa bisa sa bangun deng desa-desa lainnya di gunung ini,? kata Imanuel agak gagu.*