Sebanyak lebih dari 10 orang nelayan asal Papua, kini terpaksa mendekam di penjara Vanimo PNG. Sebagian besar dari mereka sudah disidang sedangkan yang lainnya masih
menunggu dilakukan persidangan.
Para nelayan itu, ditangkap karena melakukan illegal fishing di wilayah perairan negara PNG. Penangkapan terhadap mereka oleh pihak keamanan laut nagara tetangga ini juga, disinyalir karena tidak adanya dokumen yang resmi saat melakukan penangkapan ikan.
Para nelayan yang telah disidangkan itu, seluruhnya dituntut membayar denda senilai 5000 kina per orang. Para nelayan akan diperbolehkan pulang kembali ke Papua, apabila denda sebesar 5000 kina sesuai tuntutan dalam persidangan sudah terbayarkan.
Hal itu, dikatakan Plt. Kepala Badan Perbatasan dan Kerja Sama Daerah Provinsi Papua, Drs. Philip Marey, kepada wartawan, kemarin.
Menurutnya, dari informasi yang diterima olehnya, seluruh nelayan yang mendekam di penjara Vanimo, PNG saat ini positif melakukan kegiatan illegal fishing. Disamping itu,
penangkapan ikan tanpa dilengkapi dokumen-dokumen yang resmi beserta belum adanya Memorandum of Undarstanding (MoU) kerja sama antara RI dengan PNG dalam hal penangkapan ikan, maka penangkapan para nelayan asal Papua dinilai sesuai prosedur.
Dikatakan, Pemerintah Provinsi Papua sebelumnya telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan larangan kepada para nelayan yang tidak dilengkapi dokumen resmi dalam
melakukan penangkapan ikan diwilayah PNG. Namun, sebagian besar para nelayan itu tidak menggubris setiap larangan dan tetap saja melakukan kegiatan tersebut.
“Jadi, mereka sebelumnya sudah kami berikan larangan, namun entah kenapa masih dilakukan oleh mereka juga dan kegiatan ini sudah dilakukan berkali-kali oleh mereka jadi
tidak hanya baru kali ini,” jelasnya.Upaya dari Pemerintah Daerah untuk memulangkan para nelayan tersebut tentunya berkoordinasi dengan perwakilan RI di PNG agar para nelayan asal Papua ini ditangani secara manusiawi. Sedangkan kewenangan untuk membebaskan para nelayanan harus mengikuti peraturan negara PNG, “kita tidak punya kewenangan untuk mengatur keputusan pengadilan di PNG, karena apa yang sudah diputuskan oleh mereka itu harus diikuti, misalnya dalam pembayaran denda. Disamping
itu, kita sudah upayakan dengan pihak PNG melalui perwakilan kita di PNG, sehingga mereka ditangani secara manusiawi disana,” tuturnya.
Menyinggung soal pembayaran denda, aku Philip, “selama ini untuk yang bayar denda itu, oleh pihak perusahaan mereka sendiri. Karena para nelayan ini juga punya pimpinan di
Jayapura. Jadi pimpinannya kita panggil lalu kita suruh selesaikan itu,” paparnya.**