Berdasarkan laporan pengaduan yang masuk ke KPK, Provinsi Papua bertengger pada urutan ke – 19, jumlah kasus korupsi di Indonesia. Dalam penilain ini, selain dihitung dengan banyaknya jumlah pengaduan yang masuk, juga ditambahkan dengan banyaknya dana pembelanjaan yang digunakan, baik melalui dana APBN maupun dana APBD.
Selain Papua, didaerah-daerah lainnya di Indonesia, sebanyak 77 persen kasus korupsi oleh birokrat, terjadi di sector pengadaan barang dan jasa. Antara lain, proyek fiktif, mark up, dan pengurangan kualitas pengerjaan bangunan hingga menyebabkan proyek tersebut tidak jadi dilaksanakan.
Berkaitan dengan ini, KPK menyoroti bahwa perlu adanya fungsi pengawasan yang intensif dan harus terus didorong, baik dari tingkatan atas hingga pada tingkatan yang paling bawah. Karena apabila hanya melakukan upaya perbaikan yang menunjang kesejahteraan setiap pegawai, dinilai sangat belum cukup dan tidak dapat menjamin seseorang berhenti melakukan korupsi.
KPK optimis menilai dengan adanya fungsi pengawasan yang intensif di semua lini yang ditunjang dengan perbaikan kesejahteraan yang memadai, maka angka kasus korupsi dapat ditekan sekecil-kecil. “Jadi memang ini perlu ada fungsi pengawasan yang insentif. Sekarang kita juga mendorong MA untuk lakukan pengawasan yang intensif. Kejaksaan juga lakukan. Kita mendorong semua sampai ke daerah-daerah, Bawasda juga. Itu supaya masing-masing juga melakukan perbaikan dan dapat ditekan upaya-upaya korupsi,” demikian penegasan Penasehat Pimpinan KPK, Suryohadi Julianto, saat dalam keterangan persnya, disela-sela kegiatan Sosialisasi Seminar Korupsi, yang digelar di Hotel Yasmin, Kamis (13/9).
Menjawab wartawan berkaitan dengan proses pemantauan laporan pengaduan korupsi oleh KPK, kata Julianto, proses pemantauan kasus oleh KPK apabila ada laporan, bukti atau temuan oleh KPK yang berkaitan dengan tindakan korupsi. Julianto juga mengakui bahwa apabila ada pengaduan dari masyarakat, proses pemberian jawaban oleh KPK dalam waktu yang pendek adalah selama 30 hari. Namun, apabila ada indikasi maka akan dilakukan penyelidikan terlebih dahulu, yang tentunya bisa mencapai 2 – 3 tahun. “Kalau penyelidikan sudah ada bukti baru kita bisa masuk ke penyidikan. Kalau penyidikan orang bisa menjadi tersangka. Ini proses KUHP yang kita harus kita lakukan,” ujarnya.
Dikatakan, salah satu indicator seseorang melakukan korupsi karena kebutuhan yang mendasar. “Tapi kalau pegawai rendah itu bisa dimaklumi, tapi kalau dia pegawai gajinya puluhan juta itu bukan kebutuhan. Tapi kalau seperti ini, yang korupsi pegawai tingkat bawah ya tinggal kita perbaiki gajinya kan. Tapi penggajian yang dinaikan memang tidak menjamin terhentinya seseorang melakukan korupsi. Tapi korupsi ini tidak ada hubungannya dengan mental tapi system yang perlu dirubah,” paparnya.
Dalam kesempatan tersebut, Julianto menambahkan bahwa penanganan kasus korupsi oleh KPK tidak dilakkan per daerah. Namun, apabila di Papua ada kasus, dan kasusnya menyangkut kepentingan nasional yang berkaitan dengan pejabat public serta berkisar diatas Rp. 1 Milyar angka yang dikorupsi, maka kemungkinan besar KPK akan segera turun tangan melakukan penyelidikan.