17Sep 06
- Uncategorized
- 2241 x dilihat.
Malam itu, Willy baru selesai ngobrol bersama temannya di kawasan Kuningan (Jakarta) dan langsung bubar. Waktu sudah beranjak pukul 21.00. Namun, yang agak mengagetkan, konsultan teknologi informasi ini justru bilang mau pulang agak sorean. Baginya malam sama dengan sore, Maklum ia memang suka ngelayap hingga dini hari. Pernyataan hendak pulang lebih “sore” rupanya bukan tanpa alasan. Belakangan Willy agak gerah membaca iklan di sebuah harian. Iklan itu kira-kira menceritakan antrean calon pengantin yang mau periksa kesehatan. “Lo, apa hubungannya mau menikah dengan periksa kesehatan?” Begitu batin Willy. Ia makin tak mengerti ketika salah satu kebiasaannya ikut disebut sebagai perilaku yang patut diwaspadai. Ia lebih bingung lagi ketika membaca hepatitis C. Wah, apa pula ini? Keping-keping informasi itu menjadi kegelisahan Willy justru ketika ia hendak bersiap-siap menyunting gadis pilihannya.
Tingkat keberhasilan
Belakangan PT Roche Indonesia bekerja sama dengan Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia sedang gencar mengampanyekan pendidikan bagi masyarakat luas dengan tema “Hepatitis C: Ayo Periksa, Sembuhkan Segera!” Setidaknya, ada dua alasan yang mendasari kampanye itu. Hepatitis C merupakan penyakit infeksi kronis yang menyerang hati dan ditularkan melalui darah, serta semua orang berisiko tertular virus ini. Dari data Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) tahun 2000 terkuak, angka kejadian infeksi virus hepatitis C (VHC) di Indonesia hampir 2,4% dari total populasi. Ini berkisar pada angka 6 - 7 juta. Pada tingkat dunia ditemukan angka 170 juta. Yang menjadi keprihatinan, 60 - 65% VHC yang menyerang Indonesia kebanyakan genotipe tipe 1 yang sulit diobati atau disembuhkan. Di samping itu, ada catatan khusus dari hasil penelitian Prof. Dr. Suwandhi Widjaja, Sp.PD, Ph.D. “Penderita hepatitis C yang terbanyak sekarang ini cenderung menurun kelompok umurnya,” katanya. Jika dulu kelompok umur 40 - 60 tahun merupakan yang tersering, sekarang turun ke kelompok umur 20 - 30 tahun. Memang perkembangan teknologi juga memicu keberhasilan pengobatan. Jika dulu hanya 15 - 20%, kini keberhasilan pengobatan 89 - 90% untuk genotipe 2 atau 3 dan untuk genotipe 1 b berkisar 50 - 60%.
Hasil itu terlihat menggembirakan, tapi sejumlah kendala masih menghadang. Kendala pertama, banyak pasien yang sudah dalam taraf berat. “Sudah sampai tahap sirosis,” bilang guru besar ilmu penyakit dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya Jakarta ini. Bukan menakut-nakuti, namun sirosis termasuk penyakit hati yang serius sebagai akibat dan peradangan kronis hati dan digantikan oleh jaringan parut. Di Indonesia, 1 - 5% penderita sirosis berkembang menjadi kanker hati (karsinoma sel hati). Kendala kedua, soal biaya. “Sangat mahal!“ Bagi kalangan tertentu biaya mahal menjadi problem untuk menjalani pengobatan. Lalu kendala terakhir menyangkut efek sampingan yang tidak bisa disepelekan. Mulai dari rambut rontok, demam, pegal-pegal, letih, nafsu makan menurun, sampai suasana hati yang sedih. Juga kekurangan darah (anemia) dan penurunan sel trombosit. Beruntung, untuk meringankan efek sampingan terakhir ini sudah ada obatnya. Pengobatan hepatitis C sendiri memerlukan waktu relatif lama, 6 - 12 bulan. Gejala hepatitis C kronis biasanya ringan atau bahkan tidak ada gejalanya sehingga banyak penderita selama bertahun-tahun tidak menyadari kalau dirinya mengidap hepatitis C. Berbagai gejala dan keluhan baru muncul justru ketika sudah masuk ke tahap sirosis atau kanker hati. Gejala yang acap terjadi diantaranya lemah, perasaan kurang enak pada ulu hati, kadang bengkak pada perut atau tungkai, dan berat badan menurun cepat. Tidak jarang pula penderita muntah darah setelah mengonsumsi obat penghilang nyeri atau demam, setelah makan makanan yang merangsang, atau mengonSumsi minuman beralkohol. Jadi, ada tidaknya gejala bukan halangan bagi virus untuk menggerogoti hati. Pelan tapi pasti hati diserang dan mengerut hingga akhirnya dapat berkembang menjadi kanker hati.
Bertahan dalam darah
VHC merupakan virus yang berkembang biak di sel hati dan dikeluarkan ke dalam darah. Jadi, virus ini menyebar dan menular melalui kontak darah dan produk-produk darah. Hal inilah yang menjadi kegelisahan Willy. Seks bebas yang menjadi bagian dari gaya hidupnya itu ternyata rawan terhadap penularan VHC.
Dulu, sebelum tahun 1990-an, transfusi darah menjadi gerbang utama penyebaran VHC. Semenjak dilakukannya penapisan yang ketat mulai tahun 1992, kisah penularan hepatitis C lewat transfusi darah tutup buku. Sebagai ganti adalah luka tusuk jarum suntik. Bisa terjadi di kalangan tenaga kesehatan maupun pengguna narkoba intravena. Hal terakhir inilah, menurut Suwandhi, penyebab penderita hepatitis C bergeser ke kelompok anak muda. Gaya hidup modern kini makin perlu diwaspadai, sebab mobilitas orang makin tinggi. Perilaku yang bisa menimbulkan luka menjadi rentan disusupi VHC. Kalau sudah begitu, kita seperti menanam bom waktu. Perilaku yang patot diwaspadai itu adalah menjalani terapi akupunktur dan tindik pada tubuh dengan jarum yang tidak disterilisasi atau dibersihkan sebagaimana seharusnya. Begitu pula dengan jarum tato yang tidak disucihamakan atau tinta yang telah terkontaminasi.
Bagi yang suka mengisap kokain, waspadalah. Sedotan yang dipakai untuk menghirup nikmatnya kokain berpeluang mencederai hidung. Jika alat ini digunakan secara bergantian (mana asyik sih ngedrug sendirian), penularan VHC pun dimungkinkan terjadi. Teman tinggal teman, tapi apakah ia berani jujur jika menderita hepatitis C ? Perilaku berisiko lainnya yaitu berganti-ganti pasangan hubungan seksual (terlebih dengan pekerja seks komersial), alias penganut seks bebas. “Terutama pada daerah-daerah dengan prevalensi hepatitis C tinggi, risiko penularan dengan modus ini sangat tinggi,” tutur lulusan Fakultas Kedokteran UI tahun 1968 ini. Indonesia, lanjut Suwandhi, termasuk daerah dengan prevalensi cukup tinggi. Terakhir - semoga ini tidak menimbulkan sikap paranoid - pemakaian barang-barang perawatan pribadi seperti pisau cukur, sikat gigi, gunting kuku, sisir secara bersamaan sebaiknya dihindari. Terlebih bila alat-alat itu tersimpan dalam lingkungan yang kondusif, seperti kaman mandi. “Virus bisa bertahan dalam keadaan basah cukup lama, satu sampai dua minggu,” ujar Suwandhi. Nah, mengingat sebagian peralatan tadi juga jamak dipakai pada salon dan tukang cukur pinggir jalan, tindakan pencegahan tentu menjadi kunci utama agar tidak tertular hepatitis C. Bukan berarti orang lalu dilarang bercukur di salon atau barber shop! Sekadar mengingatkan, tempat-tempat itu merupakan terminal yang patut diwaspadai, karena bisa jadi ada penumpang gelap bernama VHC yang ikut nimbrung di sana.
Kuncinya pendidikan
Lantaran gejalanya susah dideteksi, penderita hepatitis C umumnya harus sadar ketika melakukan pemeriksaan berkala. Daripada nanti terkaget-kaget sehabis medical check up paket lengkap, alangkah baiknya Anda yang berisiko segera memeriksakan diri. Jika sudah tahu terjangkiti, langkah selanjutnya mencegah agar VHC tidak menular ke orang lain. Bila ingin tahu kita masuk ke kelompok berisiko atau tidak, cobalah jawab sejumlah pertanyaan berikut. Jika Anda menjawab “ya” pada salah satu pertanyaan, segeralah berkonsultasi dengan dokter yang berkompeten.