Kami sudah mulai sosialisasikan standar ini kepada perbankan," kata Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad saat seminar Prospek Ekonomi, Perbankan, dan Properti 2007 yang diselenggarakan Bank Tabungan Negara di Jakarta, Rabu. Muliaman menambahkan, selain memberi perlindungan kepada konsumen, standarisasi ini untuk memudahkan sekuritisasi aset KPR. Terutama saat hendak dijual melalui mekanisme secondary mortgage facilities (SMF). "Kita harus lakukan itu supaya aset KPR-nya lebih mudah ketika hendak dijual," katanya,
Hal tersebut dikatakan menanggapi pertanyaan Deputi Menteri Perumahan Rakyat bidang Pembiayaan Iskandar Saleh yang memersoalkan perlakuan bank terhadap konsumen KPR. Menurut dia, bank dianggap semena-mena dalam menetapkan suku bunga kredit. "Konsumen tak mempunyai kekuatan apa-apa menghadapi perilaku ini," ujarnya. Sebagai contoh, Iskandar menyebutkan pernah menelpon salah satu bank BUMN untuk menanyakan skema KPR. Pada tahun pertama bank tersebut memang menawarkan suku bunga KPR yang tetap. Namun ternyata di tahun berikutnya, bank tersebut tidak bisa menjamin berapa besaran suku bunganya.
"Bahkan pada praktiknya suku bunga melonjak hingga tiga kali lipat. Ini keterlaluan," ujarnya. Seharusnya pihak bank bersama konsumen harus mempunyai patokan suku bunga yang ditetapkan saat KPR berjalan. "Jika ada patokan ini bank maupun konsumen sama-sama terlindungi," ujarnya. Muliaman menambahkan, sebenarnya standarisasi ini bisa lebih mudah dilaksanakan apabila sudah ada UU Sekuritisasi. Namun UU ini berada di luar kewenangan BI. "Kalau melalui Peraturan Bank Indonesia saja, lingkupnya hanya pada aset perbankan. Padahal bisa dikembangkan ke sektor lain," ujarnya. Namun demikian, tambah Muliaman, terkait dengan standarisasi KPR tersebut, BI bersama dengan SMF sudah menyosialisasikan kebijakannya ke bank pelaksana KPR. Namun demikian dia belum menyebutkan kapan standarisasi ini bisa diterapkan.