Perlu diberikan apresiasi yang tinggi kepada kepala daerah yang bertumpu pada SDM dalam memacu pertumbuhan ekonomi daerahnya," kata Dekan FEUI Prof. Bambang P.S. Brodjonegoro dalam diskusi tentang "Membangun Optimisme Iklim Investasi Daerah" dengan wartawan di kantor Komite Pemantau Pelaksanaan Otda (KPPOD) Jakarta, Senin. Menurut dia, selama ini belum tampak pemberian apresiasi yang tinggi kepada Pemda yang berhasil membangun perekonomian wilayahnya dengan kekuatan SDM karena tidak semua daerah di Tanah Air memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Dalam skala kecil, Kabupaten Badung (Bali) dan DKI Jakarta merupakan dua daerah yang sudah mulai membangun basis pertumbuhan ekonominya dari SDM, yakni melalui sektor jasa. Kondisi demikian hendaknya juga dikembangkan oleh pemerintahan di desa, katanya. "Jadi bagaimana kita mengangkat kisah daerah yang sukses mencapai `the best practice` yang tidak ada hubungannya dengan sumber daya alam," kata Bambang.
Dalam bagian lain pemaparannya, Bambang juga menekankan perlunya pemerintah pusat untuk segera menjadikan otonomi daerah (Otda) sebagai bagian integral dari strategi pertumbuhan ekonomi nasional 2007 karena selama ini Otda masih dianggap sebagai penghambat pembangunan ekonomi. Ia mengatakan, jika pada 2006 sektor keuangan merupakan faktor dominan yang menopang pertumbuhan ekonomi nasional, pada 2007, pemerintah mau tidak mau harus berfikir untuk menarik sebanyak mungkin investor.
Dalam konteks itu, pemerintah pusat tidak boleh melupakan pemerintah daerah (Pemda) karena potensi besar investasi itu justru ada di daerah dan yang banyak berhubungan adalah pemerintah daerah. "Artinya aturan-aturan yang bagus harus diikuti dengan perubahan mental aparat Pemda. Pemerintah pusat harus menyadarkan mereka karena 2007 adalah tahun emas pertumbuhan ekonomi negara," katanya. Menurut Bambang, iklim investasi di daerah mau tidak mau harus terus diperbaiki dan pemerintah daerah lebih baik memfokuskan diri pada upaya menarik investor lokal dan domestik daripada investor asing karena investor asing, terutama yang belum berpengalaman dengan kondisi Indonesia, cenderung memilih wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) dan daerah yang sudah jelas potensi sumber daya alamnya (SDA) daripada daerah-daerah pada umumnya.
"Untuk itu, pemerintah pusat harus mendorong Pemda-Pemda memperbaiki iklim investasinya karena investasi adalah penopang pertumbuhan ekonomi nasional yang `sustainable` (berkelanjutan)," katanya. Sebaliknya, Pemda pun sudah saatnya bertanggungjawab penuh atas kemajuan perekonomian di daerahnya sehingga mereka tidak boleh lagi hanya berfikir bahwa menyelenggarakan roda pemerintahanan sesuai dengan APBD sudah cukup karena APBD sesungguhnya hanyalah "fasilitas" untuk memacu pertumbuhan ekonomi, katanya. Di Indonesia, kini terdapat 450 kabupaten/kota. Persaingan antardaerah untuk menarik investor akan semakin ketat sehingga Pemda tidak bisa lagi hanya menunggu para investor datang melainkan harus secara intensif melakukan promosi dan perbaikan iklim investasi, termasuk menghindari berbagai peraturan daerah (Perda) distortif yang justru menghambat minat investor untuk datang, kata Bambang.
"Investor datang ke suatu daerah bukan tanpa alasan, kecuali ada keuntungan di situ. Jadi antar Pemda pun akan terlibat persaingan yang semakin keras," katanya. Sementara itu, Direktur Eksekutif KPPOD, P.Agung Pambudhi, dalam kesempatan itu memaparkan sikap optimistisnya dalam menilai masa depan iklim investasi daerah. Tahun 2006, katanya, menorehkan beberapa perkembangan positif maupun negatif dalam pelaksanaan Otda yang terkait dengan iklim investasi daerah. Hal-hal positif itu antara lain telah diterapkannya "One Stop Service" (OSS) perizinan usaha, "Regulatory Impact Assesment" (RIA) suatu kebijakan dan forum pemangku kepentingan pembangunan daerah. Beberapa hal negatif adalah masih adanya Perda distortif, korupsi pejabat daerah, KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) tender proyek Pemda, dan adanya "turbulensi politik pasca Pilkada", kata Agung Pambudhi. Memasuki 2007 ini, pemerintah perlu memerhatikan pentingnya revisi peraturan pemerintah (PP) 25/2000 mengenai kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah propinsi sebagai daerah otonom, revisi UU 34/2000 tentang pajak dan retribusi daerah, serta insentif fiskal bagi daerah, katanya.
Menurut Agung Pambudhi, revisi terhadap PP 25/2000 itu sangat mendesak mengingat adanya wilayah abu-abu (grey area) dalam lingkup kewenangan pusat-provinsi-kabupaten/kota. Dalam hal perizinan usaha yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, misalnya, pelayanan terpadu di tingkat nasional belum memastikan apa yang dilayani, siapa yang melayani, dan bagaimana melayaninya. "Contoh lain adalah soal urusan pertanahan yang amat penting dalam investasi, yang belum jelas pembagian kewenangan pusat-daerah seperti apa yang dikehendaki untuk menjabarkan desentralisasi pertanahan," katanya. Kondisi demikian, katanya, menyebabkan Pemda gamang dalam melaksanakan pelayanannya berdasarkan prinsip desentralisasi UU 32/2000 tentang pemerintahan daerah. Terkait dengan revisi UU 34/2000, ia mengatakan, berbagai pihak terkait perlu mendalami gagasan prinsip "earmark" penggunaan hasil pajak daerah sebagai syarat penerapan suatu pajak daerah. Dalam hal ini, jenis-jenis pajak daerah yang telah ditentukan dalam "closed list/positive list" rancangan undang-undang (revisi UU 34/2000) hanya boleh diterapkan di daerah apabila Perda secara jelas menentukan alokasi penggunaan hasil pajak tersebut untuk mendukung pelayanan sektor yang dipungut, katanya. Selain itu, insentif fiskal bagi Pemda-Pemda yang berprestasi pun perlu diberikan antara lain melalui pemberian "award" (penghargaan), publikasi luas sebagai daerah percontohan, bantuan teknis, dan hibah (grant) sebagai insentif bagi mereka untuk terus meningkatkan kinerja pelayanan investasinya.