11May 07
- Uncategorized
- 1365 x dilihat.
Dengan jumlah secara nasional sekitar setengah juta pelamar untuk memperebutkan beberapa puluh ribu posisi di ratusan instansi pemerintah, tidaklah mengherankan bila prosesi tahunan ini bahkan melebihi rutinitas tahunan penerimaan mahasiswa baru. Ditambah dengan aneka berita miring dan masalah yang menyertai, tidaklah mengherankan hajatan ini mampu mendominasi media massa dan menyedot perhatian masyarakat.
Perubahan penerimaan PNS menjadi sebuah hajatan nasional sebenarnya baru terjadi dalam dua tahun terakhir, yakni pada penerimaan tahun anggaran 2004 dan 2005 yang dilaksanakan di awal tahun 2005 dan 2006. Perubahan ini terjadi sebagai salah satu buah reformasi birokrasi dengan idealisme untuk "membersihkan" proses penerimaan PNS sebagai langkah awal untuk menciptakan pemerintahan yang bersih menuju good government. Dengan sistem gabungan antara sentralisasi dan desentralisasi ini diharapkan terjadi peningkatan kualitas calon PNS sebagai SDM birokrat unggul di masa depan. Sentralisasi diberlakukan pada regulasi yang mengikat seluruh instansi pemerintah sampai pada proses ujian tertulis, sebaliknya kewenangan instansi “pemakai” PNS yang diterima diterapkan pada pada proses setelahnya, atau adanya tambahan syarat-syarat lain sesuai dengan kebutuhan instansi. Adanya persyaratan tambahan ini merupakan hal urgen khususnya pada instansi yang menuntut “kualifikasi plus” bagi calon pegawainya seperti lembaga akademis / riset (universitas negeri, LIPI, dll) serta departemen-departemen tertentu (Deplu, dll).
Namun, seperti disebutkan diatas, pada pelaksanaannya masih banyak masalah yang timbul. Mulai dari indikasi kecurangan, manipulasi data maupun kesalahan administrasi biasa. Semua ini bisa berakibat sangat fatal tidak hanya bagi para calon PNS, tetapi juga berpotensi merusak citra seluruh sistem di mata publik. Padahal sistem baru ini selain diharapkan mampu menjaring SDM bermutu, juga untuk meningkatkan citra PNS yang dikenal lamban, manipulatif, berkualifikasi rendah dan segala cap jelek lainnya.
Meski diakui sistem penerimaan baru ini jauh lebih baik daripada sistem sebelumnya, terlebih pada era Orde Baru, harus diakui bahwa masih “terlalu banyak” kesalahan maupun peluang kesalahan yang ada. Hal mana sebagian besar sebenarnya bisa dicegah, atau minimal dikurangi sampai batas terendah. Dari pengalaman penulis, secara umum ada dua jenis kesalahan. Pertama, kesalahan administratif yang tidak disengaja, dan lebih diakibatkan oleh buruknya sistem dan rendahnya kualitas panitia. Kedua, manipulasi yang memang dengan sengaja dilakukan oleh oknum-oknum internal di instansi-instansi pemerintah. Kedua sumber kesalahan ini bisa terjadi karena memang dalam regulasi dan sistem saat ini kedua sumber kesalahan ini tidak bisa dihilangkan.
Apakah tidak ada cara untuk minimal mengurangi secara maksimal kedua sumber kesalahan diatas ? Apakah pengawasan ala PNS, semacam waskat (pengawasan melekat) dan sebagainya bisa menjadi solusi ? Tentu saja tidak ! Karena yang diperlukan adalah sistem terintegrasi yang mampu merealisasikan sistem pengawasan yang alami. Disinilah teknologi informasi (TI) diharapkan mampu memberikan solusi. Lebih daripada mengurangi kedua sumber kesalahan diatas, pemakaian TI berpotensi menekan waktu pemrosesan serta biaya secara signifikan.
Hal ini telah dibuktikan oleh TGJ LIPI (Tim Gabungan Jaringan - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dengan Sistem Informasi Penerimaan CPNS (SIPC) yang telah diimplementasikan pada penerimaan PNS LIPI tahun 2005 lalu. Lebih dari sekedar sistem informasi, SIPC LIPI (http://www.cpns.lipi.go.id) merupakan sistem terintegrasi berbasis web baik untuk front-office maupun back-office. Sehingga seluruh proses penerimaan, dari registrasi oleh pelamar sampai proses administrasi seluruhnya dilakukan secara otomatis dan hampir tanpa intervensi manusia. Untuk melamar, calon pelamar tidak perlu berdesakan karena semuanya dilakukan melalui web. Kemudian dilanjutkan dengan pengiriman dokumen fisik melalui pos yang jumlahnya juga sangat minimal. Bahkan surat lamaran cukup dicetak langsung dari web, dan dilampiri hanya 3-4 lembar kertas yang menjadi syarat dokumen fisik (salinan KTP, ijasah terakhir). Pasfoto pelamar sekalipun tidak diperlukan, karena cukup di-upload setelah registrasi. Tidaklah mengherankan bila di instansi lain banyak berita antrian pelamar sampai pingsan, di LIPI hal tersebut sama sekali tidak terjadi. Bahkan pada proses verifikasi fisik dimana pelamar harus hadir langsung sehari sebelum ujian tulis, bisa dilakukan dengan tertib dan hampir tanpa antrian sama sekali ! Karena verifikasi dan pencocokan data langsung dilakukan di depan terminal-terminal komputer sehingga bisa dilakukan dengan sangat cepat.
Dilain pihak, panitia melakukan verifikasi dokumen tanpa memiliki akses untuk melakukan ubahan pada isian registrasi. Cukup memberi tanda cek pada beberapa item yang dipersyaratkan (nama, tanggal lahir, jenis kelamin, pendidikan terakhir, dsb). Dengan cara ini tidak ada peluang manipulasi data oleh oknum panitia. Sebaliknya ini menghilangkan kemungkinan kesalahan memasukkan data, sehingga bila terjadi kesalahan pengisian sepenuhnya bersumber dari pelamar yang bersangkutan. Lebih dari itu, seluruh proses bisa diikuti oleh setiap pelamar setiap saat melalui halaman registrasi personal. Bahkan untuk pelamar yang tidak lolos verifikasi administrasi bisa memperbaiki kesalahannya selama belum melewati batas waktu yang ditentukan.
Proses selanjutnya sampai penentuan ranking dilakukan secara otomatis dan proporsional sesuai dengan jumlah posisi yang dibuka. Pada tahap penentuan peserta yang berhak mengikuti ujian tertulis, ranking ditentukan dari nilai IP (indeks prestasi) dengan pemberian bobot sesuai universitas asal. Bagi pelamar yang lolos, kartu peserta ujian juga cukup dicetak sendiri secara langsung dari web. Sehari sebelum ujian tulis, untuk pertama kalinya para pelamar diwajibkan hadir untuk melakukan verifikasi fisik. Karena jawaban ujian tulis berupa pilihan ganda, seluruh proses penilaian bisa dilakukan secara otomatis dan nilai yang didapat langsung diintegrasikan ke SIPC LIPI untuk ditabulasi guna mendapatkan ranking. Setelah proses inilah, setiap instansi di bawah LIPI diberikan kewenangan untuk memilih sejumlah pelamar yang akan dipanggil dari total pelamar yang mendapatkan nilai diatas nilai minimum untuk setiap bidang. Selanjutnya hal yang sama diberlakukan saat pemilihan pelamar yang diterima. Disinilah letak “harmonisasi” antara aturan yang sentralistik di LIPI Pusat dan desentralisasi di level instansi. Pemberian otoritas ini perlu karena setiap instansi memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda dan tidak bisa dikuantisasi. Namun yang pasti pelamar yang bisa dipilih telah memenuhi syarat regulasi nasional, yaitu mendapatkan nilai diatas ambang batas yang ditentukan yang berarti telah memenuhi syarat sebagai calon PNS. Dengan ini, tidak ada lagi masalah ketidakcocokan PNS yang diterima dengan kebutuhan instansi pemakai. Perlu diketahui, proses pemilihan ini dilakukan oleh wakil-wakil dari setiap instansi melalui web yang sama.
Logika dan sistem yang sama secara teknis bisa diberlakukan secara nasional. Yakni sampai proses ujian tulis dilakukan secara seragam dan otomatis penuh. Sedangkan proses selanjutnya (bila ada) sampai pemilihan pelamar yang diterima diserahkan ke setiap instansi yang bersangkutan. Untuk kondisi Indonesia saat ini, setidaknya sangat realisitis untuk mengimplementasikan sistem ini pada penerimaan PNS di instansi pemerintah pusat (selain pemda), baik departemen maupun non-departemen.
Sistem ini di LIPI telah terbukti mampu menekan angka "kesalahan" (baik sengaja maupun tidak sengaja) di pihak panitia sampai 100 persen ! Terlebih seluruh proses tercatat secara otomatis sehingga bisa diketahui siapa melakukan apa. Ditambah dengan jumlah tenaga pelaksana verifikasi yang jauh lebih sedikit (cukup 20 persen dari cara konvensional), sehingga lebih mudah dilakukan kontrol internal. Semua ini mengakibatkan penghematan luar biasa pada pemakaian dana untuk seluruh proses penerimaan PNS. Karena sejak awal hampir tidak ada kertas yang diperlukan. Juga penghematan akibat adanya kepastian jumlah peserta ujian tulis, sehingga mengurangi pemborosan akibat penyediaan sarana ujian yang tidak perlu.
Yang terpenting, sistem ini bisa menjadi modal awal untuk mendapatkan SDM terbaik calon birokrat sebagai langkah awal dan utama untuk menciptakan good government. Tidak ada good government tanpa good people (atau bahkan best people) yang bekerja di dalamnya...
Sumber : http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1178849974&&2007&