Dalam rangka memberikan pencegahan terhadap penyalahgunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Pemerintah Pusat bekerja sama dengan Dinas Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (DPTIK) Provinsi Papua, Rabu (16/2) pagi, menggelar kegiatan Bimbingan Teknis UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), bertempat di Swissbelhotel Jayapura.
Kegiatan yang dihadiri seluruh aparat hukum instansi vertikal dan horizontal lingkup Pemerintah Provinsi Papua ini, dibuka secara resmi oleh Asisten Bidang Umum Setda Provinsi Papua, Drs. Ibrahim Is Badaruddin, M.Si yang disaksikan Plt. Kepala DPTIK Papua, Kansiana Salle,SH beserta para peserta bimtek. Gubernur Papua dalam sambutannya yang dibacakan Asisten Ibrahim Badaruddin mengatakan era globalisasi membuat tidak ada satu negara pun yang dapat membendung arus informasi.
Di satu sisi, perkembangan TIK memberi kemudahan bagi setiap orang dalam mengakses berbagai informasi dengan cepat dan mudah tetapi perlu diwaspadai karena hal itu dapat digunakan sebagai sarana efektif untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Maka itu, sejalan dengan perkembangan TIK tersebut, pada 22 April 2008 telah disahkan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dalam rangka memberikan kepastian hukum, yang didalamnya terdapat hal-hal baru seperti adanya pengakuan bahwa informasi elektronik atau dokumen elektronik dan hasil cetakannya merupakan alat bukti yang sah kemudian adanya penerapan asas ekstra teritorial, tandasnya.
Sementara mengingat arti penting alat bukti elektronik itu, kata Gubernur, tentu tidak berlebihan jika metode, proses pengumpulan maupun pengajuannya di persidangan perlu diketahui secara bersama sehingga dapat memperkuat pembuktian dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan tindak pidana transaksi elektronik. Selain itu, juga agar tidak terjadi kesalahan tafsir baik bagi aparat penegak hukum maupun masyarakat. Masih menurut Gubernur, jika mengacu kepada pasal 184 KUHAP yang mengatur bahwa alat bukti sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, hal demikian akan sulit dipecahkan bila terjadi di dunia ciber karena disamping perbuatan hukum itu dilakukan oleh subyek dengan menggunakan sarana teknologi canggih, juga tidak mudah untuk dilacak keberadaannya.
Subyeknya bisa berada di Indonesia tetapi modusnya dan locus delicti-nya terjadi di luar Indonesia atau sebaliknya. Hal ini mengakibatkan proses pembuktian di tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan menjadi sulit dilaksanakan, katanya. Kendati begitu, lanjut dia, berdasarkan pasal 5 jo. Pasal 44 UU ITE, Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah. Alat bukti tersebut merupakan perluasan hukum acara di Indonesia.
Jadi, UU ITE ini bisa membantu penyidikan terhadap pelanggaran TIK. Karena itu, melalui kegiatan bimbingan teknis ini, diharapkan para peserta khususnya para penegak hukum untuk dapat menyerap inti sari pemaparan yang disampaikan oleh para narasumber mengenai pemahaman UU ITE terutama mengenai alat bukti elektronik sehingga bisa melancarkan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan,harap dia.