Sekertaris Daerah (Sekda) Provinsi Papua, Herry Dosinaen mengharapkan tata ruang wilayah kedepan oleh aparat maupun seluruh komponen masyarakat terkait, harus berkoordinasi erat dengan kondisi-kondisi obyektif serta sesuai dengan kearifan lokal yang ada di negeri ini.Hal demikian sebagaimana pesan Sekda dalam sambutannya pada acara pembukaan seminar nasional menata kota yang modern berbasis kearifan lokal sebagai perwujudan jati diri bangsa, bertempat di Gedung Serba Guna Kantor Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua, Selasa (10/6). Dikatakan, kondisi geografis di tanah Papua sangat berbeda dengan daerah lain bahkan sangat “akrab†dengan bencana alam akibat musim hujan dan kering yang keduanya banyak berdampak pada bencana-bencana ekologis.
Dilain pihak, dirinya menilai sampai saat ini regulasi yang menjadi referensi daerah dalam melaksanakan semua aktifitas pembangunan sangat bertabrakan secara frontal dengan kondisi obyektifitas yang ada. “Untuk itu saya sangat mengharapkan kita semua, semua narasumber, semua peserta khususnya para mahasiswa yang memiliki ide-ide cemerlang untuk bagaimana kita mengemas berbagai regulasi-regulasi yang merupakan breakdown dari regulasi-regulasi teknis sehingga ketika kita melaksanakan semua aktifitas termasuk pembangunan-pembanguan yang ada
di tanah ini dapat terselesaikan dengan kondisi obyektif yang ada,†jelasnya. Masih menurut Sekda, bahwasanya sampai hari ini ada sekian banyak regulasi-regulasi struktural dari kementrian yang terkesan sangat sentralistik sehingga ketika semua regulasi-regulasi itu di aplikasikan ke daerah-daerah, maka menjadi tidak cocok dengan situasi dan kondisi autentik yang ada di daerah apalagi melihat pada letak geografis serta kondisi budaya di Papua.
Karena itu, lanjutnya, saat ini pihak Pemerintah Provinsi Papua saat ini sedang merekonstruksi UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus di tanah Papua. Dalam upaya merekonstruksi itu ada 5 kerangka dasar yang nantinya tersebar dalam beberapa pasal dari 3 ratus sekian pasal itu. Kelima kerangka dasar tersebut, yakni perangkat dasar kewenangan, kerangka dasar finansial, karangka kebijakan pembangunan yang juga berkorelasi erat dengan kondisi kearifan lokal di tanah Papua, serta
kerangka dasar kelembagaan dan kerangka dasar hukum dan HAM. Sementara alasan untuk merekonstruksi UU tersebut karena ada terjadi tumpang tindih dalam pemerintahan yang mana pada pasal demi pasal di dalam UU nomor 32 tahun 2004 dan UU nomor 21 tahun 2001, selalu diakhiri dan diatur dengan perundang-undangan lainnya. “Inilah penyebabnya peraturan daerah khusus yang menjadi breakdown untuk pengaplikasian antara ril dan religi dari UU nomor 21 tahun 2001 menjadi tidak bernilai serta tak mempunyai power karena selalu bertabrakan dengan regulasi-regulasi yang lain,â€tukasnya.