Adanya desakan dari pihak Pemerintah Kota Jayapura untuk segera menyerahkan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Hamadi yang merupakan asset Pemerintah Provinsi Papua, telah mendapatkan sinyal tanggapan setuju dari Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua, Ir. Astiler Maharadja. Dirinya mendukung diserahkannya PPI tersebut untuk dikelola Pemerintah Kota Jayapura, apabila telah mendapat persetujuan dari pihak eksekutif maupun legislative (DPRP maupun Pemerintah Provinsi Papua).
Hal itu diakuinya kepada wartawan, senin kemarin, saat ditemui diruang kerjanya.
Dalam kesempatan tersebut, Astiler menjelaskan bahwa beberapa alasan dan pertimbangan, sehingga belum diserahkannya PPI Hamadi kepada pihak Pemkot Jayapura, antara lain, proses administrasi penyerahan asset dari Provinsi kepada daerah haru melalui mekanisme dan prosedur persetujuan dari pihak Legislatif. Kemudian, tenaga-tenaga yang akan mengoperasikan dan memelihara mesin-mesin pabrik es dan cold storage agar selalu stand-by dalam pelayanan kepada nelayan. Serta adanya perbandingan antara pemasukan sebagai (PAD) dan pengeluaran untuk operasional prasarana PPI.
Dikatakan, pos-pos pemasukan yang dapat diharapkan dari PPI Hamadi sesuai dengan kondisi saat ini, antara lain hasil penjualan es atau volume es yang terjual sangat erat kaitannya dengan hari operasi nelayan, yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan BBM. Selain itu, untuk biaya sewa cold storage, sangat bergantung kepada jumlah ikan yang didaratkan oleh nelayan. Dengan kata lain, "apabila tonage ikan yang didaratkan oleh nelayan tidak melampaui permintaan, maka tidak akan ada ikan yang disimpan dalam cold storage. Sebaliknya. jika ikan yang didaratkan melebihi permintaan pasar, maka akan ada ikan yang akan disimpan dalarn cold storage".
Sedangkan untuk retribusi pelelangan, hanya akan dapat dilakukan apabila terdapat proses
lelang (sebagai jasa) untuk memberikan keuntungan bagi nelayan dan bukan kepada pedagang. Karena apabila retribusi ditarik tanpa ada proses lelang, maka nelayan akan meninggalkan PPI tersebut.
Lebih lanjut kata Astiler, untuk Galangan pada umumnya nelayan lebih cenderung melakukan perbaikan perahu disekitar rumahnya, kecuali apabila ukuran kapal mencapai 10 -20 GT maka dapat dilakukan di galangan. Sedangkan Jumlah kapal ukuran 10 - 20 GT di Kota Jayapura, tidak lebih dari 10 buah. Sedangkan untuk pos-pos pengeluaran di PPI Hamadi atau yang menjadi operational cost-nya adalah pembayar listrik untuk pabrik es dan cold storage, piaya pemeliharaan prasarana PPI, biaya bagi tenaga-tenaga teknis untuk mengoperasikan pabrik es dan cold storage, tenaga keamanan dan pembersihan kompleks, serta perhitungan PAD dari PPI Hamadi.
"Jadi teknisnya Sejak Nopember 2005 yang lalu, dimana nelayan sudah mulai aktif memanfaatkan PPI Hamadi, ternyata pendapatan adalah sebesar Rp. 1,5 juta - Rp. 2 juta per bulan, atau Rp. 24 juta per tahun. Sedangkan pengeluaran listrik hampir Rp. 6 juta per bulan atau Rp. 72 juta per tahun ditambah honor tenaga teknis, keamanan dan pembersihan sebanyak 4 orang x 12 bulan x Rp. 710.000, = Rp. 44.080.000,- per tahun.
Oleh karena itu, PPI Hamadi belum dapat diharapkan sebagai salah satu penyumbang PAD untuk Kota Jayapura. Kehadiran PPI tersebut lebih banyak bersifat pembinaan dan pelayanan agar usaha nelayanlebih produktif.
Menurutnya, apabila pihak Pemerintah Kota Jayapura tetap memberanikan diri untuk mengambil alih PPI Hamadi, maka disarankan untuk segera menetapkan secara jelas tenaga-tenaga pengelola PPI Hamadi dengan fasilitas-fasilitas yang ada didalamnya. Kemudian, mengalokasikan dana yang cukup untuk pengoperasian PPI Hamadi, khususnya pabrik es, cold storage dan honor tenaga teknis, tidak memindahkan karyawan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua yang ada didalam kompleks PPI Hamadi, tanpa ada rumah pengganti yang disiapkan oleh Pemda Kota Jayapura yang layak huni bagi mereka.
Ditambahkan, salah satu surnber PAD yang dapat diandalkan adalah BBI di Koya. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, PAD dari BBI Koya dapat mencapai ratusan juta rupiah per tahun jika dikelola dengan baik. Kebutuhan rata-rata bibit ikan per tahun untuk kegiatan Provinsi Papua berkisar antara 750.000 ekor sarnpai 1,5 juta ekor per tahun. Jika dikenakan Rp. 100 per ekor bibit ikan untuk PAD, maka PAD berkisar antara Rp. 75.000.000.- sampai Rp. 150.000.000.- per tahun, dengan asurnsi bahwa biaya operasional tidak dialokasikan oleh Pernda Kota Jayapura.
Akan tetapi, jika biaya operasional BBI dialokasikan oleh Pemda dalam jumlah yang cukup, maka setiap ekor bibit ikan dapat dikenakan Rp. 400- Rp.500 per ekor bibit. Artinya PAD yang akan diperoleh berkisar antara Rp. 300.000.000.- sampai dengan Rp. 750.000.000 per tahun.
"Untuk itu, kami menyarankan agar masalah pembebasan lahan untuk BBI Koya segera diselesaikan dengan pihak pemilik lahan. Masalah status lahan BBI Koya masih tetap dipertanyakan oleh Pusat, sebab dana pernbangunannya sebagian besar berasal dari dana dekonsentrasi," ujarnya menyarankan.**