Jayapura-SETELAH mendapat tekanan dari berbagai pihak termasuk DPR Papua, PT Freeport akhirnya memutuskan untuk melakukan pertemuan dengan pihak Pemerintah Papua. Dijadwalkan dalam pekan ini, Freeport akan memaparkan berbagai kegiatan eksploitasi, termasuk royalty, pajak dan retrebusi yang sudah di bayarkan kepada negara. "Pada tanggal 24 Februari 2006 nanti, PTFI akan datang ke Jayapura untuk memberikan paparan-paparan mengenai masalah-masalah yang selama ini menjadi sorotan publik," demikian ditegaskan Penjabat Gubernur Papua, Dr. Sodjuangon Situmorang kepada Bisnis Papua.
Menurut Situmorang, Selama ini pemerintah sangat transparan dalam hal mengatur bagi hasil royalti PTFI. Sesuai dengan amanat UU 32 Tahun 2004 dan UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001, 80 persen dana bagi hasil royalti Freeport yang diterima oleh Provinsi Papua.
"Kita transparan, rumusnya jelas kok dan diatur dalam berbagai UU. Rakyat boleh tau royalti Freeport berapa yang diterima dan berapa yang digunakan. 80 persen dana royalti Freeport yang diterima itukan sudah mengakomodir seluruh hasil pendapatan Freeport. yang menghitung juga kan bukan hanya Pemda, tapi Pemerintah Pusat juga ikut menghitung," Jelasnya.
Sementara itu, mengenai pembentukan tim daerah untuk pengkajian kontrak karya PTFI, kata Sodjuangon, saat ini masih digodok intansi teknis seperti, Dinas Pertambangan dan Energi, Dispenda, Bapedalda, untuk perlu tidaknya pembentukan tim tersebut.
Lebih lanjut Sojuangon mengatakan, Freeport sebagai suatu perusahaan memiliki banyak tanggung jawab yang dituntut juga untuk efisien. Meski begitu Freeport juga diminta memperhatikan sisi comunity development (masalah lingkungan).
Freeport juga menghadapi banyak persoalan mengenai masalah-masalah itu (royalty, lingkungan - red), sementara Pemda juga menginginkan pendapatan daerah yang meningkat.
"Jadi kita juga memahami bahwa Freeport juga memiliki banyak tanggung jawab yang disatu sisi sebagai perusahaan dituntut efisien," akunya.
Ditempat terpisah, Ketua Komisi B DPRP, Abdul Achmad Hakim mendesak Pemerintah Provinsi Papua untuk segera membentuk tim pengkajian kontrak karya Freeport. Ia mengakui bahwa dalam kontrak karya tersebut perlu ada perubahan-perubahan yang intinya, hasil eskploitasi Freeport harus dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk yang wajar.
Beberapa hal penting yang dinilai Hakim, perlu ada perubahan dalam kontrak karya adalah sejauh mana dampak Freeport terhadap pengembangan ekonomi rakyat di Papua.
Selama ini, lanjutnya, Freeport cenderung memberdayakan pengusaha dari luar Papua dan mengesampingkan produksi lokal akibatnya pangsa pasar di Freeport dikuasai produk dari Jawa dan sekitarnya. Sedangkan produk lokal membusuk diatas negerinya sendiri.
" Ada pasar yang besar di Freeport seperti pasokan daging, ikan, telur, sayur, buah tetapi kita lihat bahwa Freeport mengambil (memasok-red) semua ini dari luar Tanah Papua. Sehingga ekonomi yang dikerahkan melalui APBD Provinsi, Kabupaten /Kota menjadi sia-sia. Seluruh produksi rakyat Papua menjadi sia-sia,"ungkap Hakim.
Hal seperti ini, tegas Hakim, dalam kontrak karya harus dibicarakan sehingga ada gerakan ekonomi di tingkat lokal. Bukan sebaliknya semuanya didatangkan dari Jawa. Jawa begitu jauh kenapa harus dipasok dari sana?
Menyangkut pekerjaan-pekerjaan kontraktor, sub kontraktor di Freeport, Ia kembali menegaskan bahwa perlu ada konsep etnositas artinya pemberdayaan pengusaha putra Papua. Dalam UU Republik Indonesia No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, sudah sangat jelas perintahnya bahwa harus memberikan kerja dan kesempatan berusaha kepada pengusaha-pengusaha lokal.
Hakim juga mendesak agar tim daerah yang harus dibentuk, wajib menghitung kembali perpajakan dan kandungan di dalam konsetrat sehingga Freeport benar-benar bekerja didalam tataran yang transparan. " Jangan ada dana-dana siluman yang dipakai untuk biaya-biaya yang tidak jelas tetapi untuk kepentingan rakyat tidak ada,"katanya. **