Pemprov Diminta Kirim Tim Mencari Penyebab Penutupan SD Inpres Banti di Tembagapura
Jayapura-PEMERINTAH Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika didesak untuk segera menurunkan tim guna mencari sebab-sebab ditutupnya Sekolah Dasar (SD) Inpres Banti-Tembagapura.
SD Inpres yang berlokasi di sekitar Tembagapura itu menampung ratusan anak didik dari suku-suku asli di Papua yakni suku Amugme, Moni, Damal dan Dani. Sejak liburan Desember tahun 2005, hingga kemarin sekolah itu tanpa penghuni dan tidak ada proses pendidikan disana.
? Sebagian besar yang sekolah disitu (SD Banti,-red) anak-anak asli Papua, kalau sekolah itu tidak dibuka lagi, maka anak-anak Amugme, Dani dan lainnya akan dikemanakan?. Saya minta dengan hormat supaya segera dinas tekhnis di provinsi dan kabupaten segera lakukan langkah-langkah cepat,?ungkap Yovienia Magal, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) perwakilan perempuan Papua..
Sebagai wakil perempuan asal Mimika, Magal mengaku sangat kecewa dengan ditutupnya SD tersebut, karena sekolah ini merupakan satu-satunya tulang punggung-tempat dimana anak-anak asli Papua mengenyam pendidikan.
?Sekolah ini bukan hanya tempat belajar tetapi sekaligus menjadi tupuan bagi proses pendidikan kitorang punya anak-anak Papua. Mereka mau sekolah kemana lagi, ke Tembagapura tidak mungkin, disana sekolah khusus?ungkapnya sedih.
Magal mengecam keras Dinas Pendidikan Kabupaten Mimika dan Provinsi yang tidak konsen terhadap perkembangan sekolah-sekolah di daerah pedalaman. Menurutnya, kepala-kepala dinas pendidikan jangan hanya sibuk urus proyek di kota, pulang ?pergi Jakarta tanpa alasan yang jelas.
Mereka sebaiknya sibuk urus sekolah di kampung supaya guru-guru tidak lari, dan fasilitas sekolah harus lebih didahulukan untuk kampung bukan sekolah di daerah perkotaan, tegas Magal.
Mengenai sebab-sebab ditutupnya sekolah tersebut, Ia mengatakan bahwa banyak persoalan. Mulai dari minimnya perhatian fasilitas terhadap guru (baik guru PNS/honorer), insentif bagi guru honorer yang tidak jelas, hingga alokasi anggaran yang tidak memadai untuk proses pendidikan disana.
? Insentif guru honorer, fasilitas guru sampai dengan hak-hak mereka menjadi akar persoalan. Ditambah jarak sekolah yang begitu jauh. Ada harapan untuk dapat menumpang kendaraan Freeport namun sama saja tidak bisa. ID Card supaya masuk ke Tembagapura saja tidak pernah ada ,?kata Magal yang pernah mengajar selama 13 tahun di SD tersebut.
Magal menambahkan apa yang terjadi di SD Banti merupakan satu dari berbagai masalah pendidikan di Papua. Untuk itu, Ia meminta dengan tegas pengelolaan dana insentif bagi guru, honorer, Biaya Operasional Sekolah (BOS), dan anggaran pendidikan tidak dikebiri, apalagi dikorupsi. Harus transparan BOS dan insentif berapa besarnya, Jangan lagi mempermainkan nasib guru. Kasus SD Inpres Banti harus menjadi contoh kepada semua pihak terutama pemerintah,tandas perempuan Papua ini.**