Jayapura-Penjabat Gubernur Provinsi Papua, Dr. Sodjuangon Situomorang, M.Si menilai bahwa Pemerintah Australia kurang terbuka memberikan informasi tentang kejelasan asal usul ke- 42 orang yang mengaku warga Papua, yang meminta suaka di negeri kangguru tersebut.
Kepada wartawan diruang kerjanya kemarin, Situmorang mengatakan, ke-42 orang yang mengaku warga Papua
tersebut saat ini telah mendapatkan visa dan tempat
tinggal sementara di Australia. Hal itu, jelas-jelas
sangat disayangkan oleh Pemerintah RI dengan mengirimkan nota protes ke pihak Australia karena mereka tidak menggunakan tata cara pergaulan Internasional dalam rangka hubungan diplomatic.
Menurutnya, seharusnya Pemerintah Australia lebih terbuka dalam memberikan informasi kejelasan kepada Pemerintah RI. Sehingga tidak menimbulkan pertanyaan dan kesan yang negatif. Selain itu sampai dengan saat ini, para Bupati maupun Walikota se-Papua belum pernah melaporkan bahwa ada
warganya yang hilang atau lainnya. "Hingga sejauh ini kami sudah pantau dan belum mendapat laporan dari para bupati dan walikota se-Papua tentang adanya orang hilang atau warga yang mencari suaka ke Auistralia. "Jadi belum jelas warga yang mana dan dari daerah mana yang ke Australia," akuinya.
Oleh karena itu lanjutnya, sepanjang tidak ada alasan yang jelas dan siapa mereka tentunya, yang terpenting adalah warga di Papua perlu diutamakan juga oleh pemerintah. "Australia sangat tidak transparan siapa
mereka dan apa masalah dan tujuannya mereka minta suaka, sekarang siapa yang bisa menunjukan bahwa mereka di kejar atau di ancam disini, karena pihak Australia juga tidak terbuka. Bahkan kalau kita lihat tayangan yang di televisi wajahnya saja tidak diperlihatkan, ada apa sebenarnya dan perlu dipertanyakan, saya curiga, apa maksud Australia tersebut dan wajar jika Pemerintah Indonesia melalui Menlu kita memprotes hal itu," katanya.
Menurut Situmorang, tindakan Pemerintah Australia dinilai syarat dengan kepentingan karena sangat tidak transparan dan tidak mengacu kepada etika hubungan diplomatic antar negara. Tindakan demikian, lanjutnya, hanya akan merusak hubungan kerja antar negara karena sudah tidak mengacu kepada ketentuan norma hubungan kenegaraan.**