Sebanyak 10% dari kasus penyakit hepatitis B bisa bertendensi menjadi sirosis atau kanker hati. Apalagi, penyakit yang disebabkan oleh virus yang menyerang hati dan dapat menyebabkan peradangan hati akut (kronis) ini, merupakan salah satu jenis penyakit, tidak memandang bulu, dan bisa menyerang pada setiap orang dari semua golongan umur.Hingga saat ini, diperkirakan ada sekitar 400 juta pembawa virus (carrier) di dunia, di mana 78% di antaranya ada di Asia. Secara epidemiologis Indonesia dikelompokkan sebagai daerah endemi sedang sampai tinggi hepatitis B di dunia. Sementara, prevalensi HBsAg pada pasien kanker hati dewasa di kawasan Asia Pasifik seperti Jepang 19%, di Taiwan mencapai 75%, sedang Indonesia sekitar 50%. Mengacu pada Technical Advisory Group on Viral Hepatitis and Global Advisory Group, gejala penyakit hepatitis B mirip dengan hepatitis A, di mana pasiennya mengalami gejala yang ringan seperti flu. Umumnya, penderita akan kehilangan nafsu makan, mual, muntah, rasa lelah, mata kuning dan muntah serta demam. Kadang-kadang juga disertai nyeri sendi, dan nyeri serta bengkak pada perut bagian atas.
Setelah satu minggu tanpa pengobatan, biasanya akan terjadi gejala utama seperti kuningnya seluruh tubuh, dan juga bagian putih pada mata. Selain itu, sebagian penderita biasanya air seninya menjadi seperti teh. Menurut profesor dan konsultan internis dan gastroenterologis L.A. Lesmana, penularan penyakit ini bisa terjadi secara vertikal atau horizontal. Cara penularan vertikal terjadi dari ibu yang mengidap virus hepatitis B kepada bayi yang dilahirkan yaitu pada saat persalinan atau segera setelah persalinan. Penularan dengan cara horizontal adalah penularan yang terjadi karena lingkungan, seperti penggunaan jarum suntik yang tercemar, tindikan telinga, transfusi darah, gigitan manusia dan juga hubungan seksual. Yang merupakan risiko tertular hepatitis B adalah pecandu narkotika, orang yang mempunyai banyak pasangan seksual. Hingga saat ini belum ada obat yang memuaskan untuk infeksi hepatitis B, karena itu, pencegahan merupakan cara terbaik, yakni dengan pola hidup sehat, mencegah perilaku seksual berisiko tinggi, dan imunisasi. Hepatitis B dapat dicegah dengan imunisasi Hepatitis B pada anak. Vaksin ini, biasanya diberikan sebanyak tiga kali pada bayi sebelum berusia 1 tahun. Atau menurut Lesmana, vaksin Hepatitis yang paling baik untuk bayi, adalah 24 jam setelah bayi tersebut dilahirkan.
Dengan demikian, vaksin tersebut bisa membunuh sel-sel virus Hepatitis dengan lebih cepat. Lebih lanjut dia mengatakan penularan secara vertikal sendiri, diyakini ahli dikarenakan proses pecahnya air ketuban, yang kemudian tertelan sang bayi pada saat proses kelahiran. Pada saat itulah penularan virus ini bisa terjadi. Vaksin hepatitis B yang aman dan efektif sudah tersedia sejak beberapa tahun yang lalu. Ada tiga golongan obat hepatitis B kronik. Pertama, penekan virus berupa analog sintetik bahan pembentuk virus hepatitis B yang dapat menghalangi replikasi virus. Contohnya Lamivudine, Famciclovir, Ganciclovir, Adefovir, dan Entecavir. Kedua, immunomodulator, meliputi semua bahan yang memacu respons imun untuk menghancurkan sel hati yang terinfeksi virus hepatitis B dan membersihkan hati dari virus. Contohnya IFN alfa dan Thymosin alfa 1. Ketiga, pengobatan alternatif meliputi obat-obatan tradisional yang belum diketahui secara spesifik mekanisme kerjanya. Misalnya, kurkuma, obat China, dan sebagainya. Pengobatan dengan interferon alfa-2b dan lamivudine, serta imunoglobulin yang mengandung antibodi terhadap hepatitis-B diberikan 14 hari setelah paparan. Hingga saat ini, menurut Lesmana, pengobatan secara tradisional, belum teruji hasil klinisnya. "Karena ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus, maka saya rasa pengobatan dengan menggunakan obat-obatan tradisional itu, kurang efektif."
Analog sintetik
Sementara prevelansi pengobatan dari immunomodulator dan analog sintetik memiliki waktu pengobatan yang berbeda. Pengobatan dengan menggunakan sistem immunomodulator, biasanya memerlukan waktu selama setahun untuk proses pengobatannya, sementara dengan sistem analog sintetik lebih lama yaitu 1-3 tahun.
"Namun, banyak pasien yang lebih nyaman menjalani pengobatan dengan analog sintetik karena lebih mudah menjalaninya, yakni minum setiap hari," tandas Lesmana. Dia menambahkan pengobatan dengan analog sintetik, sebaiknya dilakukan hanya dengan satu jenis obat saja. Karena penggunaan obat yang berganti-ganti bisa membuat virus bermutasi dan sulit untuk dimatikan. Seperti halnya penggunaan obat baraclude (entecavir) yang menunjukkan manfaat yang lebih besar dalam pengobatan pada pasien hepatitis B kronis dengan nukleosida na?f (pasien yang belum pernah menerima terapi nukleosida).
Sementara untuk jenis immunomodulator, hingga saat ini, terapi IFN yang dipandang mempunyai efek terapi yang konsisten. Terapi ini, bertujuan menghambat replikasi virus, menghambat nekrosis dan mencegah transformasi maligna sel hati. IFN diberikan dengan indikasi utama HBe Ag dan HBV-DNA positif serta adanya hepatitis kronik aktif. Respons terhadap IFN dapat berupa respons sementara, respons tak lengkap dan respons lengkap. Keberhasilan terapi terjadi pada sepertiga kasus hepatitis B kronis. IFN efektif pada dosis 5-10 juta unit/kali 3 kali/minggu, sedikitnya diberikan selama tiga bulan. Hasil terbaik diperoleh bila IFN diberikan sedini mungkin, yaitu pada fase replikatif aktif virus B. Respons positif cenderung terdapat pada penderita yang terinfeksi pada masa dewasa, jenis kelamin wanita, kadar serum transaminase tinggi sebelum terapi, kadar HBV-DNA rendah sebelum terapi dan tidak adanya antibodi terhadap HIV dan HDV. IFN juga terbukti efektif terhadap hepatitis B kronis. Penilaian terapi lebih sulit karena belum diketahui marker yang definit untuk mengetahui indikasi terapi seperti pada penderita hepatitis B kronis.