Timika,
Perundingan Masih Alot Akibat Denda Adat yang Terlalu Mahal
Setelah sepekan berperang, keluarga almarhum Umo Allom, yang tewas disergap oleh sekelompok massa pada peristiwa bentrokan antar suku Nduga dan Damal di Kampung Harapan Kwamki Lama, Sabtu (11/6) pekan lalu, akhirnya menyatakan tidak ingin berperang lagi dan siap untuk berdamai.
Namun meski peluang perdamaian sudah terbuka diantara kedua kelompok itu, namun perundingan masih tetap alot karena denda adat yang ditawarkan terlalu mahal, dan hingga saat ini masih menjadi perundingan sesama warga.
Pernyataan yang disampaikan keluarga alm Umo Allom selaku korban perang kepada masyarakat suku Nduga saat rapat adat dengan pihak keluarga yang punya pokok masalah, menjelaskan sesuai dengan adat masyarakat setempat bahwa pihak korban perang (Umo Allom) akan menuntut "ganti kepala' kepada pihak yang punya pokok masalah (Decky Murib).
Denda adat yang dinamakan ganti 'kepala tersebut' sesuai dengan adat yang berlaku di masyarakat sebesar Rp 1 milyar. Dari jumlah dana itu nanti akan diberikan kepada seluruh korban saat perang (meninggal dan luka-luka) yang besarnya akan disesuaikan dengan kerugian yang dialami.
Penentuan perdamaian dan perang pada kondisi saat ini adalah keluarga Umo Allom sebagai korban perang yang masuk dalam kelompok suku Nduga (kelompok bawah), sedangkan kelompok atas (Damal) hanya menunggu kesepakan dari suku Nduga.
"Kelompok atas siap menunggu saja, kalau kelompok dari bawah katakan selesai perang dan berdamai, mereka terima dan jika dikatakan dilanjutkan untuk berperang mereka juga siap," ujar Kapolres Mimika, AKBP Paulus Waterpauw yang ditemui Sabtu (12/6) kemarin di Timika.
Kapolres yang dari awal melakukan lobi perdamaian antar kedua kelompok yang bertikai mengatakan bahwa jika perang sudah berakhir maka akan ditandai dengan 'tanam tebu' sesuai dengan adat masyarakat setempat yang ditempatkan di beberapa titik lokasi perang.
Sementara itu Simeon Ginal (kakak alm Umo Allom) telah menyatakan untuk tidak melakukan perang lagi, dengan pertimbangan kerugian yang ditimbulkan perang akan semakin banyak, baik harta benda maupun korban jiwa.
Pernyataan yang disampaikan kepada Kapolres Mimika selaku juru runding kedua kelompok yang bertikai, sepakat bahwa para keluarga korban melalui Simeon Ginal menyatakan dirinya sebagai pihak yang dirugikan akibat peristiwa perang antar warga (kelompok) yang berlangsung selama seminggu itu, tidak menginginkan adanya lagi pertumpahan darah dan korban jiwa dalam peperangan di Kwamki Lama.
" Hasil musyawarah keluarga bahwa kami tidak mau lagi perang tetapi mau berdamai," katanya.
Dihadapan masyarakatnya dan Kapolres Mimika serta tokoh agama, Simeon Ginal mengatakan, dari keluarga korban sudah tidak menginginkan lagi ada perang ataupun balas dendam, karena hal itu akan memberatkan dalam perang dan juga merugikan semua pihak.
Sesuai dengan adat masyaraat setempat, jika pihak keluarga korban menyatakan bahwa tidak ada lagi perang sehubungan dengan kematian Pendianan Allom dan Umo Allom di Kwamki Lama, maka semua harus mematuhi. Jika ada anggota kelompok yang melanggar pernyataan korban , maka yang bersangkutan harus bersedia menerima resiko yang ditimbulkan, baik dilihat dari sisi hukum adat maupun hukum pemerintah.
Namun demikian pernyataan yang disampaikan keluarga alm Umo Allom kepada masyarakat suku Nduga saat rapat adat dengan pihak keluarga yang punya pokok masalah, sesuai dengan adat masyarakat setempat bahwa pihak korban perang ( Umo Allom) akan menuntut "ganti kepala' kepada pihak yang punya pokok masalah (Decky Murib) yang menurut masyarakat setempat besar denda itu sebesar Rp 1 milyar dan hingga Minggu (13/6) malam kemarin hal ini masih menjadi perdebatan.