Departemen Perindustrian dan Perdagangan tampaknya jadi dipecah menjadi dua seperti di zaman pemerintahan Presiden Soeharto dulu. Di sisi lain, duet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) juga hampir pasti menghidupkan lagi Kementerian Kepemudaan. Karena itu, dibanding Kabinet Gotong Royong, kemungkinan besar kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih gemuk - terdiri atas 34 menteri.
Namun demikian, kata wapres terpilih Jusuf Kalla, ihwal personal yang akan menduduki kursi di kabinet SBY-JK ini belum ditentukan. "Pertemuan kali ini masih membahas soal struktur kabinet dan jumlah menteri - belum tentang orangnya," ucapnya usai melakukan pertemuan dengan SBY, Yusril Ihza Mahendra, dan mantan Panglima TNI Widodo AS di kediaman SBY di Puri Cikeas Indah Bogor, Senin. Kalla menambahkan, struktur kabinet SBY akan tetap seperti saat ini.
Sementara itu, Yusril yang mengaku hadir karena diundang untuk memberi masukan dan pendapat, mengatakan, pembahasan soal struktur kabinet dilakukan hingga 13 Oktober 2004. "Dengan demikian, pada 13 Oktober itu baru ditentukan siapa-siapa yang masuk kabinet," katanya.
Yusril mengakui, wacana tentang penambahan dua menteri - Menteri Kepemudaan dan pemisahan Menperindag menjadi Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan - menjadi pembahasan yang serius dalam pertemuan kemarin.
Sementara mengenai struktur kabinet, Yusril mengatakan akan tetap sama - meski sempat muncul usulan dan wacana tentang adanya Menko Hukum. "Dulu ada Menko Polsoskam. Kemungkinan nanti bisa saja Menko Politik, Hukum, dan Keamanan," katanya.
Di tempat terpisah, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) H Tifatul Sembiring menyatakan, PKS telah memersiapkan sejumlah kadernya untuk menempati posisi di kabinet SBY-JK. "Insya Allah akan ada wakil dari PKS di kabinet," katanya setelah menerima jabatan dari Hidayat Nur Wahid yang mundur karena telah menjadi Ketua MPR.
Tifatul yang sebelumnya adalah salah satu Ketua DPP PKS Wilayah Dakwah I itu tidak mau menyebutkan secara pasti berapa kader PKS maupun nama-namanya yang akan diusulkan masuk kabinet SBY. Namun ketika ditanya apakah ada dua atau tiga orang kader, Tifatul mengatakan: "mudah-mudahan lebih dari itu".
Saat ini, kata Tifatul, nama-nama itu tengah digodok oleh lembaga tinggi partai yang terdiri atas ketua majelis pertimbangan, ketua majelis syuro, ketua dewan syariah, ketua umum, sekjen, dan bendahara umum. "Saya baru saja menjabat. Jadi, saya belum bisa memberitahukan soal itu. Nanti kalau sudah ada, segera saya beri tahukan," katanya.
Sementara itu, pakar administrasi publik Lembaga Administrasi Negara (LAN) Norsyamsa Djumara berpendapat, pemerintah SBY-Kalla sebaiknya membuat kontrak politik dengan para menterinya, selain melakukan fit and proper test. Kontrak politik ini meminta para menteri melepaskan segala atribut partai politik dan kepentingan lain.
"Dengan kontrak politik, pemerintahan SBY-JK dapat mengontrol para menteri sesuai kesepakatan sejak awal. Jika menteri gagal menjalankan kesepakatan bersama, maka SBY-JK dapat mencopotnya di tengah jalan," katanya.
Dengan kontrak politik, lanjut Noorsyamsa, menteri harus menjalankan jabatan hingga selesai. Jangan sampai jabatan menteri digunakan untuk mencari popularitas, kemudian mengundurkan diri untuk menjadi calon presiden mendatang hingga banyak jabatan kabinet kosong karena para menteri sibuk mencalonkan presiden seperti terjadi pada pemerintahan Megawati.
"Apalagi ada kemungkinan para menteri diisi oleh kader parpol pendukung SBY-JK. Jadi jangan lagi jabatan menteri digunakan untuk mengisi kas dana partai. Bila kader partai diangkat jadi menteri, maka dia harus profesional dan penuh mencurahkan perhatian melayani masyarakat serta berbakti kepada negara," papar Noorsyamsa.
Dia juga menilai, jika kontrak politik itu memuat klausul yang meminta para menteri mengundurkan diri bila ditemukan indikasi KKN atau gagal dalam menjalankan misinya, maka pemerintahan SBY-Kalla bukan hanya menjadi pemerintahan pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi juga merupakan pemerintahan pertama yang transparan dan akuntalibitas dalam sejarah bangsa Indonesia. "Biasanya kepentingan dan misi lain yang membuat menteri yang gagal atau punya indikasi kuat KKN enggan mundur. Bila jabatan itu dijalankan dengan semangat nothing to loose, maka siapa pun yang menjadi menteri akan bersedia mundur sebagai rasa tanggung jawab bila dinilai gagal tapi terbukti punya indikasi kuat melakukan KKN," ujar Noorsyamsa.
Sementara itu, fungsionaris Partai Golkar Bomer Pasaribu menilai SBY-Kalla perlu menanamkan dulu "kiblat" kabinetnya, yakni zaken kabinet atau kabinet ahli. Untuk itu, ujarnya, yang menjadi tolok ukur utama adalah standar kompetensi, keunggulan profesional atas segala-galanya, walaupun tidak lepas dari dukungan politik.
"Untuk memastikan itu, ada baiknya mereka yang masuk kabinet meninggalkan jabatan masing-masing," kata Bomer. Dia menekankan bahwa anggota kabinet harus betul-betul teken kontrak secara penuh. Kalau mendua, ujarnya, mereka pasti tidak akan memberikan kepastian pada zaken kabinet dan fondamentasi kabinet bisa gagal.
Ditanya tentang 100 hari kabinet SBY-JK, Bomer mengatakan, pada dasarnya isyarat kinerja awal kabinet presiden terpilih itu belum riil. Namun demikian, ujarnya, ada tiga unsur yang perlu dipenuhi, yakni kinerja awal yang memberikan kepercayaan kepada publik, meliputi publik pasar, politik, nasional, dan internasional.
"Bisakah itu dibangun sekaligus? Harapan harus dibangkitkan. SBY-JK harus bisa membuktikan janji-janji mereka itu kepada masyarakat. Paling tidak, harus ada bukti simbolik untuk capaian kabinet selama 100 hari. Misalnya dalam penegakan hukum, anti-KKN, juga dalam mengatasi pengangguran," kata Bomer.
Senada dengan itu, anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) DPR/MPR Abdullah Azwar Anas mengharapkan pemerintahan SBY-JK betul-betul bisa mewujudkan prioritas 100 hari pertama berkuasa, terutama terkait masalah KKN yang ternyata juga melanda dunia legislatif. Kepada pers, dia mengakui bahwa eksistensi legislatif belum beranjak dari kesan di masyarakat kurang baik, terutama terkait penyimpangan penggunaan dana negara.
Itu, menurut Azwar Anas, karena jarak antara fungsi dan tanggung jawab yang harus dilakukan begitu tipis.